Jumat, 04 Maret 2011

Cara Membungkus Beras

Ada seorang kaya yang hidup di suatu desa. Dia mempunyai dua orang
anak laki-laki kembar yang diberi nama Dodo dan Didi. Mereka
merupakan dua orang yang cerdas dan ramah kepada semua orang. Suatu
ketika si orang kaya ini ingin membagikan seluruh harta kekayaannya
kepada kedua putranya, setelah itu dia ingin pergi merantau ke tempat
lain.

Singkat cerita, Dodo dan Didi sepakat menginvestasikan harta warisan
tersebut dengan mendirikan toko beras di desa tersebut. Toko Dodo
berada di utara desa, sedangkan toko Didi berada di selatan. Awalnya
kedua toko tersebut cukup ramai. Tapi lama kelamaan hanya toko Didi
yang tetap ramai, sedangkan toko Dodo mulai sepi. Bahkan sebagian
besar pelanggan Dodo juga pindah ke toko Didi

Hal tersebut berlangsung berbulan-bulan, sampai suatu ketika si orang
kaya tersebut kembali ke desa. Dia heran mengapa hanya toko Didi yang
ramai, sedangkan Dodo tidak. Hampir tidak ada perbedaan di antara
toko mereka. Mereka sama-2 ramah, menjual dengan harga yang sama, dan
beras yang dijual pun punya kualitas yang sama. Setelah diamati
dengan teliti, akhirnya orang kaya tersebut melihat satu perbedaan
kecil yang menyebabkan pelanggan Dodo pindah ke Didi.

Perbedaan tersebut terletak pada cara Dodo dan Didi membungkus beras.
Misalkan ada pembeli yang membeli beras satu kilogram, maka Dodo
menggunakan gayung yang besar untuk mengambil beras, menuangkan beras
tersebut ke dalam plastik dan meletakkannya diatas timbangan. Karena
menggunakan gayung besar, maka jumlah yang tertera diatas timbangan
selalu lebih dari 1 kg. Dodo lalu menggunakan gayung kecil mengambil
kelebihan-kelebihan beras tersebut sampai jumlahnya tepat satu
kilogram. Lain lagi dengan Didi. Dia menggunakan gayung kecil untuk
menuangkan beras kedalam pembungkusnya, lalu meletakkannya diatas
timbangan. Karena menggunakan gayung kecil, tentu jumlahnya kurang
dari satu kilogram. Dia lalu perlahan-lahan menambah jumlah beras
hingga satu kilogram. Lalu membungkusnya.

Apabila anda adalah sang pembeli, apa pendapat anda ? Beras mana yang
akan anda beli ?

Ketika hal tersebut ditanyakan orang kaya tersebut kepada para
pelanggan toko anaknya, mereka mengatakan bahwa si Didi baik, karena
selalu' menambahi' beras mereka. Sebaliknya menurut mereka si Dodo
curang, karena beras yang dibeli selalu `dikurangi'. Secara logika
para pelanggan tersebut mengerti bahwa jumlah yang dibeli tersebut
sama-sama satu kilogram, namun otak bawah sadar mereka ternyata
membedakan antara si `baik' dan si `curang'. Memang pada mulanya, hal
ini juga tidak disadari oleh para pelanggan, namun ketika mereka
mulai membandingkan Dodo dan Didi, `kecurangan' itu mulai nampak. Dan
Dodo merasakan hasil `kecurangan'nya dengan kehilangan
pelanggannya………………………………………………….



Terkadang, tanpa kita sadari, kita bertingkah laku seperti si Dodo
terhadap orang lain, sehingga orang lain mungkin juga akan bersikap
berbeda terhadap kita. Misalnya di kantor, boss anda lebih ramah
dengan rekan anda dan bisa bergurau, tapi begitu berbicara dengan
anda, dia akan memasang sikap formal.

Sayangnya, sebagian besar daripada kita lebih suka berpikir negatif
terhadap hal ini, dengan menyalahkan orang lain lebih dulu tanpa mau
melihat kepada diri kita sendiri. Kita mungkin biasa beralasan bahwa
rekan kita memang lebih cantik, karena dia punya koneksi, dan seribu
macam alasan lainnya. Tapi jarang sekali kita mau melihat kepada diri
kita sendiri, mengapa kita diperlakukan beda seperti itu.

Mengapa anda tidak mencoba untuk introspeksi diri anda, sebenarnya
apakah perbedaan kecil yang membuat perlakukan yang beda dari boss
anda kepada anda dan rekan anda ? Mungkin anda sama-2 pandai, sama-2
suka bekerja keras, dan sama-2 mempunyai komitmen yang tinggi
terhadap pekerjaan anda. Kalau anda mau mengamatinya, mungkin anda
akan terkejut, karena hal itu mungkin benar-2 hal yang kecil sekali.
Mungkin anda bekerja dengan sangat serius, sedangkan rekan anda lebih
suka bekerja dengan senyum. Sehingga wajar saja boss anda lebih suka
berbicara dengan orang yang ramah daripada orang yang serius. Atau
mungkin dari cara anda menyampaikan laporan. Anda menyampaikan
laporan kerja anda secara lengkap dan panjang lebar, sedangkan rekan
anda lebih ringkas dan singkat. Bagaimana dengan cara berpakaian anda
…… apakah anda cukup rapi dan good looking. Lalu bagaimana dengan
cara anda menyapa orang …… apakah anda menunggu orang mengucapkan
selamat pagi lebih dulu baru anda membalasnya, ataukah anda lebih
dulu yang mengucapkan salam ……………………….

Memang benar, tidaklah mungkin kita membuat diri kita sempurna. Tapi
bukan berarti kita tidak boleh memperbaiki kesalahan kita. Dan
memperbaiki kesalahan kecil setidaknya akan membuat hidup kita lebih
baik, baik bagi kita sendiri maupun dalam hubungan kita dengan orang
lain.

Sukses untuk anda !
Akhir kata, saya ingin mengingatkan kepada anda satu kata bijak yang
ditulis oleh Eleanor Rosevelt :

"ANDA AKAN DIKRITIK KETIKA MELAKUKAN SESUATU. ANDA JUGA AKAN DIKRITIK KETIKA TIDAK MELAKUKAN SESUATU. JADI, LAKUKAN SAJA APA YANG MENURUT ANDA BENAR"

[Dari Berbagai Sumber]

Selasa, 01 Maret 2011

LANDASAN FILOSOFIS CULTURAL STUDIES


Sejak Cultural Studies telah menjadi populer di Indonesia dan seluruh dunia dalam dua dekade belakangan ini, filsafat telah menjadi dimensi yang tidak tematik dan sering tertekan dalam aktivitas ini. Sementara banyak pelatihan dalam filsafat, dilibatkan dalam praktik-praktik Cultural Studies, beberapa mencerminkan dimensi filosofis dan peran filsafat dalam kajian ini. Kurangnya refleksi dan perdebatan terhadap fungsi filosofi di dalam Cultural Studies dan penindasan terhadap kepedulian tersebut telah memungkinkan Cultural Studies rentan terhadap posisi filosofis dan/atau telah merusak aktivitas itu berkenaan dengan dimensi-dimensi filosofis yang berkembang dengan tidak semestinya.
Dengan demikian, dalam pengantar ini akan kita nyatakan bahwa tiga peran spesifik filosofi dalam: (1) merefleksikan metode, asumsi, dan metateori mengenai Cultural Studies; dalam mengartikulasikan (2) posisi normatif terhadap kritik, dan (3) dalam mengembangkan dimensi moral dan estetika yang saat ini kurang sesuai dalam praktik menurut versi Cultural Studies yang saat ini beredar. Karena kita tidak ingin untuk melebihi-lebihkan pentingnya filosofi dan argumen kita adalah bahwa Cultural Studies saat ini harus mencapai kajian yang transdisipliner dengan mengombinasikan filsafat, ekonomi politik, teori sosial, kritik kultural, dan berbagai teori dalam upaya mengembangkan suatu Cultural Studies yang layak untuk menghadapi tantangan abad ini.
Mengonseptualisasikan Cultural Studies
Cultural Studies saat ini merupakan sebuah wilayah yang bersaing dalam persaingan bermacam-macam versi. Dalam bidang yang terkotak-kotak dan penuh konflik ini, bagi kita akan bermanfaat bila memilah-milah model-model dan gagasan-gagasan yang bersaing dalam Cultural Studies, menggambarkan prakiraan-prakiraan, dan menilai kekuatan dan keterbatasan model-model yang berkompetisi itu. Hal ini merupakan pekerjaan dari metateori yang berusaha untuk merengkuh prakiraan-prakiraan mengenai sebuah kajian, menganalisis secara kritis dan menilainya, dan mempertahankan perspektif kita sendiri dan posisi jika kita ingin menyempurnakan konsep inti milik kita sendiri.
Di satu sisi perbedaan Cultural Studies saat ini menyebar dengan cepat, gerakan ini menjadi fenomena global akan pentingnya dekade yang lalu seperti didirikannya the University of Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies pada 1964, yang pada saat itu dipimpin oleh Richard Hoggart kemudian oleh Stuart Hall dari 1965-1979. Di sini penyelidikan metateori kita akan dimulai dengan pemaparan prakiraan-prakiraan menurut Cultural Studies versi British selama periode awal menjelang kelahiran dan perkembangannya. Selama periode klasik, UBCCCS mengembangkan serangkaian pendekatan kritis untuk analisis, interpretasi, dan kritik terhadap artifak-artifak kultural. Melalui serangkaian perdebatan internal, dan tanggapan terhadap perjuangan dan gerakan sosial pada 1960-an dan 1970-an, kelompok Birmingham memfokuskan pada saling pengaruh antara representasi dan ideologi kelas, gender, ras, etnisitas, dan nasionalitas dalam teks-teks kultural, termasuk kultur media. Mereka adalah di antara yang pertama memelajari pengaruh-pengaruh koran, radio, televisi, film, dan bentuk-bentuk kultur populer terhadap khalayak. Mereka memfokuskan diri pada bagaimana bermacam-macam khalayak menafsirkan dan menggunakan kultur media dalam berbagai cara dan konteks yang berbeda, menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan khalayak menanggapi secara bertentangan dengan teks-teks media.

Sejak dari awal, Cultural Studies British secara sistematis menolak pembedaan budaya tinggi/rendah dan mengamati dengan sungguh-sungguh artifak-artifak kultur media, sehingga mengatasi elitisme pendekatan literer terhadap kultur yang dominan. Sebaliknya Cultural Studies British melampaui gagasan-gagasan Aliran Frankfurt mengenai suatu khalayak yang pasif dalam konsepsi mereka terhadap suatu khalayak yang aktif yang menciptakan makna dan kultur populer. Berdasarkan pengembangan konsep-konsep semiotika yang dikembangkan oleh Umberto Eco, Stuart Hall menyatakan bahwa sebuah pembedaan harus dibuat antara encoding teks-teks media oleh para produsen dan decoding oleh para konsumen (1980b). Pembedaan ini menyoroti kemampuan khalayak untuk memproduksi bacaan dan maknanya sendiri, melakukan decode terhadap teks-teks dengan cara-cara yang menyimpang dari kebiasaan dan bersifat oposisional, selain dengan cara-cara yang “disukai” yang selaras dengan ideologi dominan.
Periode klasik Cultural Studies British saat ini dari pertengahan 1960-an dan awal 1980-an mulanya diadopsi oleh pendekatan Marxian untuk memelajari kajian budaya, salah satu terutama oleh Althuser dan Gramsci (lihat, khususnya Hall 1980a dan Centre for Contemporary Cultural Studies 1980a dan 1980b). kendatipun para anggota Cultural Studies aliran British biasanya mengabaikan aliran Frankfurt dari narasi asal-usul dan sejarahnya, beberapa karya dilakukan oleh kelompok Birmingham dengan mereplikasi posisi klasik tertentu dari aliran Frankfurt, dalam model-model teori dan metodologi sosial mereka untuk melakukan Cultural Studies, selain perspektif dan strategi-strategi politik (lihat Kellner, 1997b). seperti aliran Frankfurt, Cultural Studies British mengamati integrasi kelas-kelas pekerja dan menurunnya kesadaran revolusioner, dan memelajari kondisi-kondisi bencana ini untuk kajian revolusi Marxian. Seperti aliran Frankfurt, Cultural Studies British menyimpulkan bahwa budaya massa telah memainkan peran yang penting dalam mengintegrasikan kelas pekerja ke dalam masyarakat kapitalis yang sedang berlangsung dan bahwa konsumen dan budaya media baru telah membentuk cara baru dari hegemoni kapitalis.
Kedua tradisi itu memfokuskan pada persimpangan budaya dan ideologi dan memandang kritik ideologi sebagai pusat dari Cultural Studies yang kritis (Centre for Contemporary Cultural Studies, 1980a dan 1980b). Keduanya memandang budaya sebagai sebuah cara reproduksi dan hegemoni ideologis, di mana bentuk-bentuk kultural membantu membentuk cara-cara pemikiran dan perilaku yang memengaruhi individu-individu untuk beradaptasi dengan kondisi-kondisi sosial masyarakat kapitalis. Keduanya juga menafsirkan budaya sebagai sebuah bentuk potensial penolakan terhadap masyarakat kapitalis, juga merupakan cara reproduksi sosial, dan keduanya pertanda awal dari Cultural Studies British, khususnya Raymond Williams (1958 dan 1961), dan para ahli teori dari aliran Frankfurt, memahami budaya tinggi (high culture) sebagai kekuatan-kekuatan penolakan terhadap modernitas kapitalis. Berikutnya, Cultural Studies British meningkatkan saat-saat penolakan dalam Cultural Studies dan interpretasi khalayak dan menggunakan artifak-artifak media, sementara aliran Frankfurt cenderung, dengan beberapa perkecualian, melihat budaya massa sebagai bentuk yang homogen dan potensial dari dominasi ideologis—sebuah perbedaan yang akhirnya membagi dua tradisi.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan, seperti aliran Frankfurt, karya dari aliran Birmingham tentang Cultural Studies bersifat transdisipliner dalam hal metateori dan praktiknya. Ini pada akhirnya menumbangkan batas-batas akademik yang ada dengan mengombinasikan teori sosial, analisis dan kritik budaya, dan politik dalam sebuah kajian yang diarahkan pada kritisisme yang komprehensif dari konfigurasi budaya dan masyarakat yang ada. Lebih lanjut, hal itu berusaha untuk menghubungkan teori dan praktik dalam sebuah kajian yang diorientasikan pada transformasi sosial yang fundamental.
Dengan demikian, kedua tradisi menyebarkan teori sebagai suatu cara pengonseptualisasian garis umum cara perkembangan historis yang telah mapan dan menganalisis hubungan-hubungan kultur dan masyarakat dalam konteks historis yang spesifik. Konsep Max Horkheimer dan T.W. Adorno mengenai industri budaya dapat dilihat secara luas sebagai sebuah analisis filosofis terhadap konfigurasi masyarakat dan budaya yang tumbuh di era kapitalisme negara dan monopoli pada 1930-an dan 1940-an di Eropa dan Amerika Serikat; analisis terhadap surutnya budaya kelas pekerja, tumbuhnya budaya massa yang dikomersialisasi, dan munculnya budaya-budaya oposisional yang baru dalam Cultural Studies British juga dapat dilihat sebagai bentuk wacana teoretis yang luas sering berkaitan dengan filsafat—atau teori sosial yang dimediasi secara filosofis. Tetapi, kedua aliran yang dilihat dengan tegas oleh para ahli sejarah sebagai konsep-konsep dan metode-metode, selain bentuk-bentuk sosial, demikian berkembang dalam konteks-konteks historis dan di dalam cara-cara produksi yang spesifik. Keduanya dipengaruhi oleh cara-cara Marxian dalam meneorikan, walaupun Aliran Frankfurt lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk-bentuk Marxisme Hegelian, seperti yang dikembangkan oleh Lukacs dan Korsch, sementara Cultural Studies British berupaya untuk menggabungkan perspektif-perspektif historis dan aktivis dari Gramsci dengan konsep Althusser yang lebih strukturalis Marxisme (lihat Hall, 1980a).
Dari awal, Cultural Studies British pada hakikatnya amat politis dan berfokus pada potensi-potensi penolakan dalam subkultur-subkultur oposisional, pertama, meningkatkan potensi budaya-budaya kelas pekerja, kemudian subkultur-subkultur anak muda untuk menolak bentuk-bentuk hegemonik dari dominasi kapitalis. Tidak seperti aliran Frankfurt klasik (tetapi sama dengan Herbert Marcuse), Cultural Studies British menengok pada budaya-budaya kaum muda dengan memberikan bentuk-bentuk oposisi yang baru yang potensial dan perubahan sosial. Melalui kajian-kajian budaya kaum muda, Cultural Studies British memamerkan bagaimana budaya membentuk bentuk-bentuk yang berbeda dari identitas dan keanggotaan kelompok dan menilai potensi oposisional dari berbagai subkultur kaum muda (lihat Jefferson et al., 1976 dan Hebdige, 1979). Cultural Studies berfokus pada bagaimana kelompok-kelompok subkultur menolak bentuk-bentuk dominan dari budaya dan identitas, menciptakan gaya dan identitas mereka sendiri. Orang yang sejalan dengan kode-kode pakaian, perilaku, dan ideologi-ideologi politik karenanya menghasilkan identitas-identitas mereka di dalam kelompok-kelompok arus utama (mainstream), sebagai anggota-anggota kelompok-kelompok sosial spesifik (seperti orang-orang kulit putih, kelas menengah Amerika). Individu-individu yang mengidentifikasi dengan subkultur-subkultur, seperti budaya punk, atau subkultur-subkultur nasionalis hitam, melihat dan bertindak secara berbeda dari pihak-pihak yang berada pada arus utama, dan karena itu menciptakan identitas-identitas oposisional, mendefinisikan diri mereka sendiri melawan model-model standar.
Sebagaimana berkembang pada 1970-an dan 1980-an, Cultural Studies British berikutnya menyesuaikan diri dengan feminisme, teori ras, teori gay dan lesbian, teori postmodern, dan cara-cara teoretis yang mutakhir. Jadi, mereka berpaling pada pengkajian cara-cara di mana teks-teks kultural mengedepankan seksisme, rasisme, homophobia, dan bentuk-bentuk penindasan lainnya, atau mempromosikan penolakan dan perjuangan melawan gejala-gejala ini. Pendekatan ini secara implisit berisi kritik politik terhadap semua bentuk kultural yang mengedepankan penindasan dan dominasi seraya secara positif meningkatkan teks-teks dan representasi-representasi yang menghasilkan tatanan sosial yang secara potensial lebih adil dan egalitarian.
Dengan sebuah peralihan postmodern dalam Cultural Studies, terdapat tekanan yang meningkat pada khalayak dan bagaimana khalayak memproduksi makna dan bagaimana teks kultural menghasilkan kesenangan rakyat dan bentuk-bentuk penolakan (Anggota, 1985; Fiske, 1989a; 1989b; dan 1993). Kritik dalam tahap Cultural Studies ini mengklaim bahwa kajian ini telah kehilangan sisi kritisnya, masuk ke dalam populisme budaya modern (McGuigan, 1992), dan telah menyerah radikalisme politik dan daya dorong kritis dari kajian yang asli (Kellner, 1995).  Para pembela dari peralihan ini ke arah populisme kultural di mana model yang asli lebih kritis cenderung sangat elitis dan kritik yang berlebihan terhadap kesenangan rakyat, seraya mengabaikan cara-cara yang kompleks di mana teks-teks kultural dapat disesuaikan dan digunakan.
Pemujaan yang mendalam terhadap rakyat juga dapat mengarah pada kecenderungan-kecenderungan dominan dalam Cultural Studies British dan Amerika Utara pada pelecehan budaya tinggi (high culture) dan keterlibatan gerakan kaum modernis dan avant garde, seperti pembedaan karya Aliran Frankfurt yang menganalisis secara meluas dari seni modern yang paling esoterik (hanya dipahami oleh beberapa gelintir orang saja) pada artifak-artifak biasa (banal) dari budaya media. Ini memunculkan kecemasan terhadap studi yang legitimate mengenai rakyat dan melibatkan artifak-artifak budaya media, Cultural Studies berpaling dari apa yang disebut budaya tinggi atau elit menuju kepada rakyat. Tetapi peralihan itu mengorbankan pemahaman yang mungkin terhadap semua bentuk budaya dan replikasi pencabangan menjadi dua dari bidang budaya menjadi “populer” dan “elit” (yang agak membalikkan pemulihan positif/negatif dari pembedaan lama tentang tinggi/rendah). Hal yang lebih penting, hal ini memisahkan Cultural Studies dari upaya untuk mengembangkan bentuk-bentuk budaya yang oposisional dari serpihan yang berkaitan dengan “avant garde secara historis” (Burger, 1984). Gerakan-gerakan avant garde, seperti Expression, Surrealism, dan Dada ingin mengembangkan seni yang akan merevolusionerkan masyarakat, yang akan memberikan alternatif terhadap bentuk-bentuk budaya yang hegemonik (lihat Bronner and Kellner, 1983).
Potensi oposisional dan emansipatori dari gerakan seni avant garde merupakan tekanan utama dari Aliran Frankfurt, khususnya Adorno dan Walter Benjamin, dan sayangnya, Cultural Studies British dan Amerika Utara telah amat mengabaikan keterlibatan bentuk-bentuk dan gerakan-gerakan seni avant garde. Hal ini dikaitkan dengan suatu kegagalan dari banyak versi Cultural Studies dan sosiologi budaya untuk mengembangkan perspektif-perspektif filosofis mengenai estetika sebagaimana ditemukan pada Aliran Frankfurt. Namun, menjauh dari budaya tinggi, modernisme, dan estetika juga menunjukkan Cultural Studies British gagal untuk mengembangkan sebuah politik media dan kultural yang radikal, seperti ditemukan dalam karya-karya Brecht dan Benjamin, yang berkaitan dengan politik kultural aktivis dan perkembangan budaya-budaya oposisional alternatif. Pengabaian seni modernis dan avant garde dan tingginya perhatian pada rakyat dibantu melalui persekongkolan oleh kebaikan postmodern dalam Cultural Studies yang menyebar-luaskan posisi-posisi dan strategi-strategi penting dari Cultural Studies British di seluruh dunia tetapi juga membantu menghasilkan mutasi penting dalam kajian Cultural Studies.
Selain itu, perlu dinyatakan bahwa teori sosial kritis penting demi pengembangan Cultural Studies yang memadai. Model-model awal dalam Cultural Studies Aliran Frankfurt dan British menjalin hubungan antara budaya dan masyarakat sebagai pusat analisis mereka, memanfaatkan metode-metode teori sosial dan lebih banyak literatur serta analisis kultural untuk mengontekstualisasikan produksi, distribusi, dan konsumsi budaya dan untuk menganalisis secara kritis teks-teks kultural. Seiring perkembangan Cultural Studies British, hal itu membawa semakin banyak teori ke dalam lahan kajiannya, tetapi begitu kajiannya menjadi mengglobal dan diserap ke dalam berbagai disiplin keterkaitan dengan teori sosial sering menjadi surut. Dalam beberapa hal yang gampang dipahami, bentuk-bentuk Cultural Studies, konteks, teks, dan hambatan kehidupan sehari-hari postmodern menghilang dalam deskripsi kesenangan-kesenangan para konsumen atau dari permukaan teks-teks. Dengan demikian, relasi antara Cultural Studies dan teori sosial kompleks, bergeser, dan beraneka ragam.
Dalam konteks ini, perlu diusulkan bahwa Cultural Studies memanfaatkan sebuah sintesis dari filsafat dan teori sosial kritis untuk mengembangkan sebuah pendekatan multiperspektif yang mencakup penyelidikan terhadap perluasan artifak-artifak, menggali relasi-relasi di dalam tiga dimensi: (1) produksi dan ekonomi politik budaya; (2) analisis tekstual dan kritik artifak-artifaknya; dan (3) studi terhadap resepsi khalayak dan penggunaan produk-produk media/kultural. Metateori ini mencakup usulan, pertama, bahwa Cultural Studies itu sendiri multiperspektif, melihat budaya dari kacamata ekonomi politik dan produksi, analisis teks, dan resepsi khalayak. Di sini juga diusulkan bahwa analisis tekstual dan resepsi khalayak menyelidiki kemanfaatan multiplisitas perspektif, atau metode-metode kritis, ketika terlibat dalam analisis tekstual, dan dalam menggambarkan multiplisitas posisi-posisi subjek, atau perspektif-perspektif melalui mana khalayak menyesuaikan budaya. Lebih lanjut, hasil-hasil kajian seperti itu perlu diinterpretasikan dan dikontekstualisasikan di dalam teori sosial kritis untuk menggambarkan secara memadai makna-makan dan efek-efeknya.
Tentu saja, terdapat bahaya dalam mengedepankan pentingnya dimensi filosofis dalam Cultural Studies. Salah satu risiko dari Cultural Studies adalah kecenderungan ke arah teoritisisme (theoriticism), di mana budaya dan masyarakat direduksi ke dalam wacana dan di mana satu wacana diistimewakan di atas yang lain. Kecenderungan ini mengarah pada gagasan problematik terhadap gagasan Baudrillardian, Foucaultian, Deleuzian, Habermasian yang asli, atau bentuk-bentuk gagasan lainnya dari Cultural Studies di mana analisis direduksi menjadi problematik yang oleh ahli teori dipertanyakan. Barang tentu, penggambaran setiap teori yang ada dalam suatu cara yang imajinatif mengungkapkan pemahaman yang baru dan penting. Tetapi, reduksi Cultural Studies menjadi suatu problematik teoretis, atau pengalihan kode (transcoding) Cultural Studies ke arah bahasa sebuah teori yang spesifik, dapat sangat merusak diri sendiri dari kajian yang lebih luas.
Salah satu yang dengan jelas tidak disebarkan sepenuhnya tentang metode-metode dan perspektif-perspektif yang telah dicatat di atas pada masing-masing kajian yang berbeda yang dilakukan seseorang dan hakikat kajian-kajian tertentu akan menentukan perspektif-perspektif apa yang paling produktif. Namun, orang hendaknya tidak memedulikan sama sekali dimensi-dimensi ekonomi politik, analisis tekstual, dan riset khalayak sebagai pelengkap yang lain lebih daripada membentuk domain-domain yang terpisah. Karena itu, di sini kita tidak membuat saran yang tidak mungkin diadopsi orang dalam pendekatan multiperspektif yang komprehensif setiap saat ketika orang hendak melakukan kajian Cultural Studies atau riset budaya secara sosiologis. Jelasnya, dengan memfokuskan secara mendalam pada ekonomi politik, pada resepsi khalayak, atau pada pembacaan dan kritik tekstual secara mendalam, secara terpisah dapat bermanfaat sekali dan mengungkapkan pemahaman-pemahaman yang penting. Tetapi, secara khusus dan terus-menerus menyorot salah satu dari dimensi ini dengan menafikan yang lain dapat merusak sosiologi budaya atau Cultural Studies yang bertujuan mengembangkan pendekatan-pendekatan yang komprehensif dan inklusif pada budaya dan masyarakat, yang menyelidiki budaya dalam semua dimensinya.
[Dikutip Dari Berbagai Sumber}