Sabtu, 28 Juli 2012

BANSOS SIKKA: ANTARA HAJAT HIDUP DAN LAHAN KORUPSI



OLEH : DEDY PEDOR

(Tulisan ini saya buat sebagai bentuk kerinduan untuk bersama rakyat Sikka menyelami, betapa buruknya pengambilan hajat hidup orang banyak yang seharusnya menyejahterakan rakyat. Hormat saya secara pribadi, untuk semua elemen yang sudah meluangkan pikiran dan kerja kerasnya untuk mengungkap dan mengedepankan fakta terkait dugaan kasus korupsi di Sikka)

No To Korupsi!
Sikka, dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir belum mengalami suatu perkembangan pembangunan yang menjanjikan. Semuanya terjadi begitu saja dan selalu begitu. Pergantian kekuasaan saban 5 tahun pun tidak menjanjikan sesuatu yang mengubah nasib masyarakat. Bagi sekelumit orang, memang ada perubahan yang signifikan. Namun berbicara bagi masyarakat banyak, yang ada hanya pengulangan episode. Bahwa rakyat di kabupaten ini selalu berada di bawah garis kemiskinan. Ini menyedihkan karena selalu berlangsung dan terus berlangsung. Selama bertahun-tahun. Kabupaten Sikka berada di wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Potret propinsi ini sebagai daerah yang termiskin dan terbelakang tampak sangat jelas. Baik secara pengamatan yang dilakukan secara langsung, maupun melihatnya melalui angka-angka statistik berupa indeks pembangunan masyarakatnya. Jika dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia, NTT jelas tertinggal. Jauh.
Imajinasi masyarakat tentang keindonesiaan sepertinya terkurung dalam lingkaran setan kemiskinan, busung lapar, infrastruktur minim, dan kehancuran ekologi. Proses pembangunan terasa begitu lamban. Angka kematian bayi dan ibu sangat tinggi. Busung lapar merebak di berbagai tempat. Kemajuan pendidikan yang sampai awal tahun 1980-a menjadi kebanggaan, merosot dengan tajam. Tingkat kelulusan SMA dan sederajat pada tahun 2010 bahkan terendah di antara 33 propinsi. Citra keterbelakangan semakin kentara pada infrastruktur yang sangat minim. Jalan raya, pelabuhan laut, bandara, pelayanan kesehatan, layanan air bersih dan listrik serba terbatas. Masa depan tampak suram, sedangkan ancaman bahaya keganasan korupsi tidak surut.
            Terlalu berlebihan jika kemudian kita menjadi diam dengan keadaan yang ada. Terlalu naif jika pembangunan yang menjadi hajat hidup orang banyak hanya dinikmati oleh sekelumit orang. Saatnya kita berbenah. Dalam pengertian luas, sebagai sebuah upaya agar meningkatkan taraf kehidupan sehingga kita mampu menciptakan episode baru cerita tentang tanah air beta  yang ideal. Potret buram ini bisa berakhir jika rakyat menjadi pengawas tunggal pembangunan. Bersama pemerintah mengusahakan pembangunan yang merata disegala bidang. Hanya itu saja? Tentu saja tidak. Selanjutnya adalah berpikir dan beraksi tentang impian ideal yang harus diterima sebagai ekses positif pembangunan yang dinikmati semua orang. Ada apa dengan semua kenyataan ini?
            Selain kata ‘cinta’ yang seringkali menghiasi perbincangan dalam masyarakat dan sinetron di televisi, kata yang sering disebut oleh  masyarakat maupun media masa adalah korupsi. Tentu kata ini tidak muncul dari sebuah ketiadaan. Kata ini muncul beriringan dengan semakin maraknya gejala yang bernama korupsi yang semakin telanjang di depan mata. Jika ditelusuri, kata korupsi (corruptio-Latin) sebenarnya sudah dipakai sejak zaman para filsuf Yunani kuno. Aristoteles misalnya memakai kata ini dalam bukunya De Generatione et Corruptione. Bagi Aristoteles, kata korupsi dalam alam filsafatnya lebih berarti perubahan. Meski punya warna ‘penurunan’. Dalam artian ini, korupsi masih jauh dari kata kekuasaan apalagi uang. Kemudian Lord Acton dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887, menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal: “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Tampak ada pergeseran makna, antara pemaknaan korupsi pada zaman Aristoteles dan yang disampaikan oleh Lord Acton. Jika makna korupsi pada zaman Aristoteles lebih melukiskan akibat yang terjadi, sedangkan di zaman modern ini lebih menunjukkan sebabnya.
            Kaitan antara korupsi dan kekuasaan itulah yang sekarang marak menjadi inti definisi tentang korupsi. Baik yang dipahami oleh masyarakat di Indonesia ataupun di dunia internasional baik itu IMF maupun Tranparency International. Di Indonesia, pada tahun 1954, Pramodya Ananta Toer mendeskripsikan hal ini dalam novelnya yang berjudul korupsi (Binawan, 2006:xiii). Hanya saja pada saat itu, uang sudah menjadi simbol keuntungan. Korupsi lalu diasosiasikan dengan uang. Keterkaitan korupsi dengan penyalahgunaan kekuasaan itu pulalah yang memberikan muatan moral pada korupsi. Dibandingkan dengan kata corruptio pada pemahaman Aristoteles, muatan moral pada kata korupsi dewasa ini sangat kental. Pendeknya, korupsi bukan lagi bermakna netral, melainkan sudah menjadi perkara moral. Dalam pemahaman baru, hanya manusia yang nota bene punya kekuasaan dan kebebasan yang bisa melakukan korupsi. Tikus tidak.
            Dalam pemahaman umum, korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan atau  kekuasaan publik untuk keuntungan privat. Makna ini mengalami penyempitan makna yang sangat besar jika dibandingkan dengan pemaknaan korupsi pada zaman Yunani kuno. Jika demikian, apakah korupsi hanya terjadi di wilayah publik? Pertanyaan ini lalu berkaitan erat dengan pembedaan antara hukum dam moral. Ketetapan yuridis yang dimaksudkan untuk mengatur perkara-perkara publik dan memberi batasan tentang tindak pidana yang merupakan kejahatan publik akan cenderung sempit dan bersifat minimal. Karena hukum hanya akan bersentuhan dengan perkara-perkara pada ruang publik. Sebaliknya moralitas akan cenderung luas, bersifat maksimal-ideal, dan karenanya menyentuh pada ruang privat. Korupsi juga bisa dipahami sebagai pembusukan-pembusukan. Kebusukan menyebabkan kerusakan. Bisa sebaliknya, kerusakan yang disebabkan oleh sebuah pembusukan.
Kita semua yang sedang mencari kebenaran dalam dugaan kasus dana korupsi bansos di Sikka menuntut keadilan dalam bentuk yang sama. Menuntut keadilan yang telah diselewengkan oleh penguasa. Mari melihat keadaan dari kondisi keseimbangan, sehingga semuanya menjadi lurus dan teratur. Sikka membutuhkan semua perubahan demi keadaan yang lebih baik. Untuk Sikka? Saatnya berbuat dan melihat masalah dari posisi yang seimbang !!

Penulis adalah orang maumere.mahasiswa pascasarjana studi kebijakan publik.tinggal di Malang.

PUSTAKA

Binawan, Al. Andang L. (ed.). 2006. Korupsi Kemanusiaan. Kompas: Jakarta
Moedjiono, Atika Walujani (ed.). 2011. Ekspedisi Jejak Peradaban NTT. Kompas: Jakarta








Jumat, 04 Maret 2011

Cara Membungkus Beras

Ada seorang kaya yang hidup di suatu desa. Dia mempunyai dua orang
anak laki-laki kembar yang diberi nama Dodo dan Didi. Mereka
merupakan dua orang yang cerdas dan ramah kepada semua orang. Suatu
ketika si orang kaya ini ingin membagikan seluruh harta kekayaannya
kepada kedua putranya, setelah itu dia ingin pergi merantau ke tempat
lain.

Singkat cerita, Dodo dan Didi sepakat menginvestasikan harta warisan
tersebut dengan mendirikan toko beras di desa tersebut. Toko Dodo
berada di utara desa, sedangkan toko Didi berada di selatan. Awalnya
kedua toko tersebut cukup ramai. Tapi lama kelamaan hanya toko Didi
yang tetap ramai, sedangkan toko Dodo mulai sepi. Bahkan sebagian
besar pelanggan Dodo juga pindah ke toko Didi

Hal tersebut berlangsung berbulan-bulan, sampai suatu ketika si orang
kaya tersebut kembali ke desa. Dia heran mengapa hanya toko Didi yang
ramai, sedangkan Dodo tidak. Hampir tidak ada perbedaan di antara
toko mereka. Mereka sama-2 ramah, menjual dengan harga yang sama, dan
beras yang dijual pun punya kualitas yang sama. Setelah diamati
dengan teliti, akhirnya orang kaya tersebut melihat satu perbedaan
kecil yang menyebabkan pelanggan Dodo pindah ke Didi.

Perbedaan tersebut terletak pada cara Dodo dan Didi membungkus beras.
Misalkan ada pembeli yang membeli beras satu kilogram, maka Dodo
menggunakan gayung yang besar untuk mengambil beras, menuangkan beras
tersebut ke dalam plastik dan meletakkannya diatas timbangan. Karena
menggunakan gayung besar, maka jumlah yang tertera diatas timbangan
selalu lebih dari 1 kg. Dodo lalu menggunakan gayung kecil mengambil
kelebihan-kelebihan beras tersebut sampai jumlahnya tepat satu
kilogram. Lain lagi dengan Didi. Dia menggunakan gayung kecil untuk
menuangkan beras kedalam pembungkusnya, lalu meletakkannya diatas
timbangan. Karena menggunakan gayung kecil, tentu jumlahnya kurang
dari satu kilogram. Dia lalu perlahan-lahan menambah jumlah beras
hingga satu kilogram. Lalu membungkusnya.

Apabila anda adalah sang pembeli, apa pendapat anda ? Beras mana yang
akan anda beli ?

Ketika hal tersebut ditanyakan orang kaya tersebut kepada para
pelanggan toko anaknya, mereka mengatakan bahwa si Didi baik, karena
selalu' menambahi' beras mereka. Sebaliknya menurut mereka si Dodo
curang, karena beras yang dibeli selalu `dikurangi'. Secara logika
para pelanggan tersebut mengerti bahwa jumlah yang dibeli tersebut
sama-sama satu kilogram, namun otak bawah sadar mereka ternyata
membedakan antara si `baik' dan si `curang'. Memang pada mulanya, hal
ini juga tidak disadari oleh para pelanggan, namun ketika mereka
mulai membandingkan Dodo dan Didi, `kecurangan' itu mulai nampak. Dan
Dodo merasakan hasil `kecurangan'nya dengan kehilangan
pelanggannya………………………………………………….



Terkadang, tanpa kita sadari, kita bertingkah laku seperti si Dodo
terhadap orang lain, sehingga orang lain mungkin juga akan bersikap
berbeda terhadap kita. Misalnya di kantor, boss anda lebih ramah
dengan rekan anda dan bisa bergurau, tapi begitu berbicara dengan
anda, dia akan memasang sikap formal.

Sayangnya, sebagian besar daripada kita lebih suka berpikir negatif
terhadap hal ini, dengan menyalahkan orang lain lebih dulu tanpa mau
melihat kepada diri kita sendiri. Kita mungkin biasa beralasan bahwa
rekan kita memang lebih cantik, karena dia punya koneksi, dan seribu
macam alasan lainnya. Tapi jarang sekali kita mau melihat kepada diri
kita sendiri, mengapa kita diperlakukan beda seperti itu.

Mengapa anda tidak mencoba untuk introspeksi diri anda, sebenarnya
apakah perbedaan kecil yang membuat perlakukan yang beda dari boss
anda kepada anda dan rekan anda ? Mungkin anda sama-2 pandai, sama-2
suka bekerja keras, dan sama-2 mempunyai komitmen yang tinggi
terhadap pekerjaan anda. Kalau anda mau mengamatinya, mungkin anda
akan terkejut, karena hal itu mungkin benar-2 hal yang kecil sekali.
Mungkin anda bekerja dengan sangat serius, sedangkan rekan anda lebih
suka bekerja dengan senyum. Sehingga wajar saja boss anda lebih suka
berbicara dengan orang yang ramah daripada orang yang serius. Atau
mungkin dari cara anda menyampaikan laporan. Anda menyampaikan
laporan kerja anda secara lengkap dan panjang lebar, sedangkan rekan
anda lebih ringkas dan singkat. Bagaimana dengan cara berpakaian anda
…… apakah anda cukup rapi dan good looking. Lalu bagaimana dengan
cara anda menyapa orang …… apakah anda menunggu orang mengucapkan
selamat pagi lebih dulu baru anda membalasnya, ataukah anda lebih
dulu yang mengucapkan salam ……………………….

Memang benar, tidaklah mungkin kita membuat diri kita sempurna. Tapi
bukan berarti kita tidak boleh memperbaiki kesalahan kita. Dan
memperbaiki kesalahan kecil setidaknya akan membuat hidup kita lebih
baik, baik bagi kita sendiri maupun dalam hubungan kita dengan orang
lain.

Sukses untuk anda !
Akhir kata, saya ingin mengingatkan kepada anda satu kata bijak yang
ditulis oleh Eleanor Rosevelt :

"ANDA AKAN DIKRITIK KETIKA MELAKUKAN SESUATU. ANDA JUGA AKAN DIKRITIK KETIKA TIDAK MELAKUKAN SESUATU. JADI, LAKUKAN SAJA APA YANG MENURUT ANDA BENAR"

[Dari Berbagai Sumber]

Selasa, 01 Maret 2011

LANDASAN FILOSOFIS CULTURAL STUDIES


Sejak Cultural Studies telah menjadi populer di Indonesia dan seluruh dunia dalam dua dekade belakangan ini, filsafat telah menjadi dimensi yang tidak tematik dan sering tertekan dalam aktivitas ini. Sementara banyak pelatihan dalam filsafat, dilibatkan dalam praktik-praktik Cultural Studies, beberapa mencerminkan dimensi filosofis dan peran filsafat dalam kajian ini. Kurangnya refleksi dan perdebatan terhadap fungsi filosofi di dalam Cultural Studies dan penindasan terhadap kepedulian tersebut telah memungkinkan Cultural Studies rentan terhadap posisi filosofis dan/atau telah merusak aktivitas itu berkenaan dengan dimensi-dimensi filosofis yang berkembang dengan tidak semestinya.
Dengan demikian, dalam pengantar ini akan kita nyatakan bahwa tiga peran spesifik filosofi dalam: (1) merefleksikan metode, asumsi, dan metateori mengenai Cultural Studies; dalam mengartikulasikan (2) posisi normatif terhadap kritik, dan (3) dalam mengembangkan dimensi moral dan estetika yang saat ini kurang sesuai dalam praktik menurut versi Cultural Studies yang saat ini beredar. Karena kita tidak ingin untuk melebihi-lebihkan pentingnya filosofi dan argumen kita adalah bahwa Cultural Studies saat ini harus mencapai kajian yang transdisipliner dengan mengombinasikan filsafat, ekonomi politik, teori sosial, kritik kultural, dan berbagai teori dalam upaya mengembangkan suatu Cultural Studies yang layak untuk menghadapi tantangan abad ini.
Mengonseptualisasikan Cultural Studies
Cultural Studies saat ini merupakan sebuah wilayah yang bersaing dalam persaingan bermacam-macam versi. Dalam bidang yang terkotak-kotak dan penuh konflik ini, bagi kita akan bermanfaat bila memilah-milah model-model dan gagasan-gagasan yang bersaing dalam Cultural Studies, menggambarkan prakiraan-prakiraan, dan menilai kekuatan dan keterbatasan model-model yang berkompetisi itu. Hal ini merupakan pekerjaan dari metateori yang berusaha untuk merengkuh prakiraan-prakiraan mengenai sebuah kajian, menganalisis secara kritis dan menilainya, dan mempertahankan perspektif kita sendiri dan posisi jika kita ingin menyempurnakan konsep inti milik kita sendiri.
Di satu sisi perbedaan Cultural Studies saat ini menyebar dengan cepat, gerakan ini menjadi fenomena global akan pentingnya dekade yang lalu seperti didirikannya the University of Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies pada 1964, yang pada saat itu dipimpin oleh Richard Hoggart kemudian oleh Stuart Hall dari 1965-1979. Di sini penyelidikan metateori kita akan dimulai dengan pemaparan prakiraan-prakiraan menurut Cultural Studies versi British selama periode awal menjelang kelahiran dan perkembangannya. Selama periode klasik, UBCCCS mengembangkan serangkaian pendekatan kritis untuk analisis, interpretasi, dan kritik terhadap artifak-artifak kultural. Melalui serangkaian perdebatan internal, dan tanggapan terhadap perjuangan dan gerakan sosial pada 1960-an dan 1970-an, kelompok Birmingham memfokuskan pada saling pengaruh antara representasi dan ideologi kelas, gender, ras, etnisitas, dan nasionalitas dalam teks-teks kultural, termasuk kultur media. Mereka adalah di antara yang pertama memelajari pengaruh-pengaruh koran, radio, televisi, film, dan bentuk-bentuk kultur populer terhadap khalayak. Mereka memfokuskan diri pada bagaimana bermacam-macam khalayak menafsirkan dan menggunakan kultur media dalam berbagai cara dan konteks yang berbeda, menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan khalayak menanggapi secara bertentangan dengan teks-teks media.

Sejak dari awal, Cultural Studies British secara sistematis menolak pembedaan budaya tinggi/rendah dan mengamati dengan sungguh-sungguh artifak-artifak kultur media, sehingga mengatasi elitisme pendekatan literer terhadap kultur yang dominan. Sebaliknya Cultural Studies British melampaui gagasan-gagasan Aliran Frankfurt mengenai suatu khalayak yang pasif dalam konsepsi mereka terhadap suatu khalayak yang aktif yang menciptakan makna dan kultur populer. Berdasarkan pengembangan konsep-konsep semiotika yang dikembangkan oleh Umberto Eco, Stuart Hall menyatakan bahwa sebuah pembedaan harus dibuat antara encoding teks-teks media oleh para produsen dan decoding oleh para konsumen (1980b). Pembedaan ini menyoroti kemampuan khalayak untuk memproduksi bacaan dan maknanya sendiri, melakukan decode terhadap teks-teks dengan cara-cara yang menyimpang dari kebiasaan dan bersifat oposisional, selain dengan cara-cara yang “disukai” yang selaras dengan ideologi dominan.
Periode klasik Cultural Studies British saat ini dari pertengahan 1960-an dan awal 1980-an mulanya diadopsi oleh pendekatan Marxian untuk memelajari kajian budaya, salah satu terutama oleh Althuser dan Gramsci (lihat, khususnya Hall 1980a dan Centre for Contemporary Cultural Studies 1980a dan 1980b). kendatipun para anggota Cultural Studies aliran British biasanya mengabaikan aliran Frankfurt dari narasi asal-usul dan sejarahnya, beberapa karya dilakukan oleh kelompok Birmingham dengan mereplikasi posisi klasik tertentu dari aliran Frankfurt, dalam model-model teori dan metodologi sosial mereka untuk melakukan Cultural Studies, selain perspektif dan strategi-strategi politik (lihat Kellner, 1997b). seperti aliran Frankfurt, Cultural Studies British mengamati integrasi kelas-kelas pekerja dan menurunnya kesadaran revolusioner, dan memelajari kondisi-kondisi bencana ini untuk kajian revolusi Marxian. Seperti aliran Frankfurt, Cultural Studies British menyimpulkan bahwa budaya massa telah memainkan peran yang penting dalam mengintegrasikan kelas pekerja ke dalam masyarakat kapitalis yang sedang berlangsung dan bahwa konsumen dan budaya media baru telah membentuk cara baru dari hegemoni kapitalis.
Kedua tradisi itu memfokuskan pada persimpangan budaya dan ideologi dan memandang kritik ideologi sebagai pusat dari Cultural Studies yang kritis (Centre for Contemporary Cultural Studies, 1980a dan 1980b). Keduanya memandang budaya sebagai sebuah cara reproduksi dan hegemoni ideologis, di mana bentuk-bentuk kultural membantu membentuk cara-cara pemikiran dan perilaku yang memengaruhi individu-individu untuk beradaptasi dengan kondisi-kondisi sosial masyarakat kapitalis. Keduanya juga menafsirkan budaya sebagai sebuah bentuk potensial penolakan terhadap masyarakat kapitalis, juga merupakan cara reproduksi sosial, dan keduanya pertanda awal dari Cultural Studies British, khususnya Raymond Williams (1958 dan 1961), dan para ahli teori dari aliran Frankfurt, memahami budaya tinggi (high culture) sebagai kekuatan-kekuatan penolakan terhadap modernitas kapitalis. Berikutnya, Cultural Studies British meningkatkan saat-saat penolakan dalam Cultural Studies dan interpretasi khalayak dan menggunakan artifak-artifak media, sementara aliran Frankfurt cenderung, dengan beberapa perkecualian, melihat budaya massa sebagai bentuk yang homogen dan potensial dari dominasi ideologis—sebuah perbedaan yang akhirnya membagi dua tradisi.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan, seperti aliran Frankfurt, karya dari aliran Birmingham tentang Cultural Studies bersifat transdisipliner dalam hal metateori dan praktiknya. Ini pada akhirnya menumbangkan batas-batas akademik yang ada dengan mengombinasikan teori sosial, analisis dan kritik budaya, dan politik dalam sebuah kajian yang diarahkan pada kritisisme yang komprehensif dari konfigurasi budaya dan masyarakat yang ada. Lebih lanjut, hal itu berusaha untuk menghubungkan teori dan praktik dalam sebuah kajian yang diorientasikan pada transformasi sosial yang fundamental.
Dengan demikian, kedua tradisi menyebarkan teori sebagai suatu cara pengonseptualisasian garis umum cara perkembangan historis yang telah mapan dan menganalisis hubungan-hubungan kultur dan masyarakat dalam konteks historis yang spesifik. Konsep Max Horkheimer dan T.W. Adorno mengenai industri budaya dapat dilihat secara luas sebagai sebuah analisis filosofis terhadap konfigurasi masyarakat dan budaya yang tumbuh di era kapitalisme negara dan monopoli pada 1930-an dan 1940-an di Eropa dan Amerika Serikat; analisis terhadap surutnya budaya kelas pekerja, tumbuhnya budaya massa yang dikomersialisasi, dan munculnya budaya-budaya oposisional yang baru dalam Cultural Studies British juga dapat dilihat sebagai bentuk wacana teoretis yang luas sering berkaitan dengan filsafat—atau teori sosial yang dimediasi secara filosofis. Tetapi, kedua aliran yang dilihat dengan tegas oleh para ahli sejarah sebagai konsep-konsep dan metode-metode, selain bentuk-bentuk sosial, demikian berkembang dalam konteks-konteks historis dan di dalam cara-cara produksi yang spesifik. Keduanya dipengaruhi oleh cara-cara Marxian dalam meneorikan, walaupun Aliran Frankfurt lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk-bentuk Marxisme Hegelian, seperti yang dikembangkan oleh Lukacs dan Korsch, sementara Cultural Studies British berupaya untuk menggabungkan perspektif-perspektif historis dan aktivis dari Gramsci dengan konsep Althusser yang lebih strukturalis Marxisme (lihat Hall, 1980a).
Dari awal, Cultural Studies British pada hakikatnya amat politis dan berfokus pada potensi-potensi penolakan dalam subkultur-subkultur oposisional, pertama, meningkatkan potensi budaya-budaya kelas pekerja, kemudian subkultur-subkultur anak muda untuk menolak bentuk-bentuk hegemonik dari dominasi kapitalis. Tidak seperti aliran Frankfurt klasik (tetapi sama dengan Herbert Marcuse), Cultural Studies British menengok pada budaya-budaya kaum muda dengan memberikan bentuk-bentuk oposisi yang baru yang potensial dan perubahan sosial. Melalui kajian-kajian budaya kaum muda, Cultural Studies British memamerkan bagaimana budaya membentuk bentuk-bentuk yang berbeda dari identitas dan keanggotaan kelompok dan menilai potensi oposisional dari berbagai subkultur kaum muda (lihat Jefferson et al., 1976 dan Hebdige, 1979). Cultural Studies berfokus pada bagaimana kelompok-kelompok subkultur menolak bentuk-bentuk dominan dari budaya dan identitas, menciptakan gaya dan identitas mereka sendiri. Orang yang sejalan dengan kode-kode pakaian, perilaku, dan ideologi-ideologi politik karenanya menghasilkan identitas-identitas mereka di dalam kelompok-kelompok arus utama (mainstream), sebagai anggota-anggota kelompok-kelompok sosial spesifik (seperti orang-orang kulit putih, kelas menengah Amerika). Individu-individu yang mengidentifikasi dengan subkultur-subkultur, seperti budaya punk, atau subkultur-subkultur nasionalis hitam, melihat dan bertindak secara berbeda dari pihak-pihak yang berada pada arus utama, dan karena itu menciptakan identitas-identitas oposisional, mendefinisikan diri mereka sendiri melawan model-model standar.
Sebagaimana berkembang pada 1970-an dan 1980-an, Cultural Studies British berikutnya menyesuaikan diri dengan feminisme, teori ras, teori gay dan lesbian, teori postmodern, dan cara-cara teoretis yang mutakhir. Jadi, mereka berpaling pada pengkajian cara-cara di mana teks-teks kultural mengedepankan seksisme, rasisme, homophobia, dan bentuk-bentuk penindasan lainnya, atau mempromosikan penolakan dan perjuangan melawan gejala-gejala ini. Pendekatan ini secara implisit berisi kritik politik terhadap semua bentuk kultural yang mengedepankan penindasan dan dominasi seraya secara positif meningkatkan teks-teks dan representasi-representasi yang menghasilkan tatanan sosial yang secara potensial lebih adil dan egalitarian.
Dengan sebuah peralihan postmodern dalam Cultural Studies, terdapat tekanan yang meningkat pada khalayak dan bagaimana khalayak memproduksi makna dan bagaimana teks kultural menghasilkan kesenangan rakyat dan bentuk-bentuk penolakan (Anggota, 1985; Fiske, 1989a; 1989b; dan 1993). Kritik dalam tahap Cultural Studies ini mengklaim bahwa kajian ini telah kehilangan sisi kritisnya, masuk ke dalam populisme budaya modern (McGuigan, 1992), dan telah menyerah radikalisme politik dan daya dorong kritis dari kajian yang asli (Kellner, 1995).  Para pembela dari peralihan ini ke arah populisme kultural di mana model yang asli lebih kritis cenderung sangat elitis dan kritik yang berlebihan terhadap kesenangan rakyat, seraya mengabaikan cara-cara yang kompleks di mana teks-teks kultural dapat disesuaikan dan digunakan.
Pemujaan yang mendalam terhadap rakyat juga dapat mengarah pada kecenderungan-kecenderungan dominan dalam Cultural Studies British dan Amerika Utara pada pelecehan budaya tinggi (high culture) dan keterlibatan gerakan kaum modernis dan avant garde, seperti pembedaan karya Aliran Frankfurt yang menganalisis secara meluas dari seni modern yang paling esoterik (hanya dipahami oleh beberapa gelintir orang saja) pada artifak-artifak biasa (banal) dari budaya media. Ini memunculkan kecemasan terhadap studi yang legitimate mengenai rakyat dan melibatkan artifak-artifak budaya media, Cultural Studies berpaling dari apa yang disebut budaya tinggi atau elit menuju kepada rakyat. Tetapi peralihan itu mengorbankan pemahaman yang mungkin terhadap semua bentuk budaya dan replikasi pencabangan menjadi dua dari bidang budaya menjadi “populer” dan “elit” (yang agak membalikkan pemulihan positif/negatif dari pembedaan lama tentang tinggi/rendah). Hal yang lebih penting, hal ini memisahkan Cultural Studies dari upaya untuk mengembangkan bentuk-bentuk budaya yang oposisional dari serpihan yang berkaitan dengan “avant garde secara historis” (Burger, 1984). Gerakan-gerakan avant garde, seperti Expression, Surrealism, dan Dada ingin mengembangkan seni yang akan merevolusionerkan masyarakat, yang akan memberikan alternatif terhadap bentuk-bentuk budaya yang hegemonik (lihat Bronner and Kellner, 1983).
Potensi oposisional dan emansipatori dari gerakan seni avant garde merupakan tekanan utama dari Aliran Frankfurt, khususnya Adorno dan Walter Benjamin, dan sayangnya, Cultural Studies British dan Amerika Utara telah amat mengabaikan keterlibatan bentuk-bentuk dan gerakan-gerakan seni avant garde. Hal ini dikaitkan dengan suatu kegagalan dari banyak versi Cultural Studies dan sosiologi budaya untuk mengembangkan perspektif-perspektif filosofis mengenai estetika sebagaimana ditemukan pada Aliran Frankfurt. Namun, menjauh dari budaya tinggi, modernisme, dan estetika juga menunjukkan Cultural Studies British gagal untuk mengembangkan sebuah politik media dan kultural yang radikal, seperti ditemukan dalam karya-karya Brecht dan Benjamin, yang berkaitan dengan politik kultural aktivis dan perkembangan budaya-budaya oposisional alternatif. Pengabaian seni modernis dan avant garde dan tingginya perhatian pada rakyat dibantu melalui persekongkolan oleh kebaikan postmodern dalam Cultural Studies yang menyebar-luaskan posisi-posisi dan strategi-strategi penting dari Cultural Studies British di seluruh dunia tetapi juga membantu menghasilkan mutasi penting dalam kajian Cultural Studies.
Selain itu, perlu dinyatakan bahwa teori sosial kritis penting demi pengembangan Cultural Studies yang memadai. Model-model awal dalam Cultural Studies Aliran Frankfurt dan British menjalin hubungan antara budaya dan masyarakat sebagai pusat analisis mereka, memanfaatkan metode-metode teori sosial dan lebih banyak literatur serta analisis kultural untuk mengontekstualisasikan produksi, distribusi, dan konsumsi budaya dan untuk menganalisis secara kritis teks-teks kultural. Seiring perkembangan Cultural Studies British, hal itu membawa semakin banyak teori ke dalam lahan kajiannya, tetapi begitu kajiannya menjadi mengglobal dan diserap ke dalam berbagai disiplin keterkaitan dengan teori sosial sering menjadi surut. Dalam beberapa hal yang gampang dipahami, bentuk-bentuk Cultural Studies, konteks, teks, dan hambatan kehidupan sehari-hari postmodern menghilang dalam deskripsi kesenangan-kesenangan para konsumen atau dari permukaan teks-teks. Dengan demikian, relasi antara Cultural Studies dan teori sosial kompleks, bergeser, dan beraneka ragam.
Dalam konteks ini, perlu diusulkan bahwa Cultural Studies memanfaatkan sebuah sintesis dari filsafat dan teori sosial kritis untuk mengembangkan sebuah pendekatan multiperspektif yang mencakup penyelidikan terhadap perluasan artifak-artifak, menggali relasi-relasi di dalam tiga dimensi: (1) produksi dan ekonomi politik budaya; (2) analisis tekstual dan kritik artifak-artifaknya; dan (3) studi terhadap resepsi khalayak dan penggunaan produk-produk media/kultural. Metateori ini mencakup usulan, pertama, bahwa Cultural Studies itu sendiri multiperspektif, melihat budaya dari kacamata ekonomi politik dan produksi, analisis teks, dan resepsi khalayak. Di sini juga diusulkan bahwa analisis tekstual dan resepsi khalayak menyelidiki kemanfaatan multiplisitas perspektif, atau metode-metode kritis, ketika terlibat dalam analisis tekstual, dan dalam menggambarkan multiplisitas posisi-posisi subjek, atau perspektif-perspektif melalui mana khalayak menyesuaikan budaya. Lebih lanjut, hasil-hasil kajian seperti itu perlu diinterpretasikan dan dikontekstualisasikan di dalam teori sosial kritis untuk menggambarkan secara memadai makna-makan dan efek-efeknya.
Tentu saja, terdapat bahaya dalam mengedepankan pentingnya dimensi filosofis dalam Cultural Studies. Salah satu risiko dari Cultural Studies adalah kecenderungan ke arah teoritisisme (theoriticism), di mana budaya dan masyarakat direduksi ke dalam wacana dan di mana satu wacana diistimewakan di atas yang lain. Kecenderungan ini mengarah pada gagasan problematik terhadap gagasan Baudrillardian, Foucaultian, Deleuzian, Habermasian yang asli, atau bentuk-bentuk gagasan lainnya dari Cultural Studies di mana analisis direduksi menjadi problematik yang oleh ahli teori dipertanyakan. Barang tentu, penggambaran setiap teori yang ada dalam suatu cara yang imajinatif mengungkapkan pemahaman yang baru dan penting. Tetapi, reduksi Cultural Studies menjadi suatu problematik teoretis, atau pengalihan kode (transcoding) Cultural Studies ke arah bahasa sebuah teori yang spesifik, dapat sangat merusak diri sendiri dari kajian yang lebih luas.
Salah satu yang dengan jelas tidak disebarkan sepenuhnya tentang metode-metode dan perspektif-perspektif yang telah dicatat di atas pada masing-masing kajian yang berbeda yang dilakukan seseorang dan hakikat kajian-kajian tertentu akan menentukan perspektif-perspektif apa yang paling produktif. Namun, orang hendaknya tidak memedulikan sama sekali dimensi-dimensi ekonomi politik, analisis tekstual, dan riset khalayak sebagai pelengkap yang lain lebih daripada membentuk domain-domain yang terpisah. Karena itu, di sini kita tidak membuat saran yang tidak mungkin diadopsi orang dalam pendekatan multiperspektif yang komprehensif setiap saat ketika orang hendak melakukan kajian Cultural Studies atau riset budaya secara sosiologis. Jelasnya, dengan memfokuskan secara mendalam pada ekonomi politik, pada resepsi khalayak, atau pada pembacaan dan kritik tekstual secara mendalam, secara terpisah dapat bermanfaat sekali dan mengungkapkan pemahaman-pemahaman yang penting. Tetapi, secara khusus dan terus-menerus menyorot salah satu dari dimensi ini dengan menafikan yang lain dapat merusak sosiologi budaya atau Cultural Studies yang bertujuan mengembangkan pendekatan-pendekatan yang komprehensif dan inklusif pada budaya dan masyarakat, yang menyelidiki budaya dalam semua dimensinya.
[Dikutip Dari Berbagai Sumber}

Selasa, 22 Februari 2011

NENE ONDE, TANJUNG DAN JAGUNG : SEMUA KISAH BERMULA !!

[Ini kisah kita dulu. Saat di seminari. Mari terus mencinta sebagai keluarga besar Seminari Mataloko. Salam hangat dari Malang buat kawan-kawan semua]

Anak Seminari sangat mengenal Nene Onde. Beliau adalah orang tua yang mencari nafkah dengan menjual aneka jajanan ringan bagi seminaris kala jam makan malam ataupun makan siang. Yang dijual pun bermacam-macam mulai dari advokat, Lombok, hingga onde-onde yang sangat laris menjelang jam rekreasi pada pukul 20.00 WITA. Lokasi berjualan pun tetap, yakni di lorong antara koridor dapur dan kamar makan SMA. Sebagai seminaris yang hanya makan ‘enak’ pada hari Selasa, Jumat dan Minggu siang; keberadaan nenek onde dan berbagai macam barang dagangan menarik perhatian dan tentunya perut kami. Saya mulai mengenal nene onde ketika masuk SMA kelas I, dan saya sangat yakin bahwa sejak saat itu nene onde menjadi sangat terkenal dengan menu khasnya yang tiga jenis: Lombok, Krupuk, dan Onde. Sebab kalau advokat agak susah bersaing sebab banyak seminaris yang juga memiliki banyak keahlian mendapatkan advokat dari kebun seminari. Alias mencuri advokat dari kebun seminari. Sebenarnya, jika mau jujur banyak kritik yang hendak diberikan kepada dagangan nene onde. Salah satunya adalah pertanyaan luhur tentang tingkat higienis Lombok hasil kreasi nene onde. Tapi apa mau dikata, seminaris yang kalau makan ‘tanam’ jika ada lauk menjadikan Lombok sebagai umpan bagi nasi jagung dan sayur kacang untuk masuk. Kami semua pernah memakan hasil karya tangan nene onde, menyantapnya dengan lugu tanpa ada protes. Pada tahapan ini, seminaris mengingkari sabda Tuhan. Semuanya terlarut dalam santapan duniawi. Nene onde seolah-olah iblis yang merayu seminaris untuk tetap membeli walaupun jam rekreasi urung tiba. Kami senang dan kami menikmati ‘kucing-kucingan’ dengan formatores akibat seringnya kami menyambangi nene onde penyelamat kami kala jam makan tiba.
          Tulisan ini saya buat sehari sebelum tanggal 14 Februari 2011. Semua mengetahui bahwa tanggal 14nya adalah hari kasih sayang. Tiba-tiba dalam kesendirian saya di kamar kost, gambar-gambar tentang seminari kembali melintas dalam benak saya. Mulai dari Bok S, tempat segenap kemampuan seminaris mencuri dan membakar jagung, perlahan-lahan menuju kebun jagung samping Kemah Tabor, tempat seminaris mencari sinyal handphone yang pertama dalam kepekatan malam nan dingin di lembah sasa. Semuanya berpendar perlahan, seolah-olah saya masih memakai jaket tebal dan duduk di bangku-bangku plastik dalam kelas yang dibangun sejak 80 tahun lalu. Bayangan ini kembali membawa saya ke belakang ruang sanggar, saya ingat  ini adalah lokasi strategis bagi penata rambut seminari yang tergabung dalam seksi handsome salon. Dengan biaya sebesar 500 rupiah, maka anda dipastikan tampil klimis dengan gaya rambut orang suci ala seminaris agar terhindar dari tatapan maut ketua keamanan. Masuk ke ruang sanggar, saya mencoba mengingat kembali kenangan bersama teater KATA, teater yang kami besarkan sebagai bagian dari menumbuhkan minat seni dan kreativitas seminaris. Lama di situ, maka datanglah tumpukan teks-teks drama, mulai dari lembah maut, Yeremia, Pengadilan di atas awan, Pulau Bunga dan berbagai jenis pementasan yang pernah kami lakukan. Semuanya indah. Dari kamar Tidur saya di kota Malang, saya mencoba mengingat semuanya seperti hendak meminta kepada Tuhan, kembalikan waktu saya dulu. Waktu kami sama-sama merasakan makan nasi jagung yang berulat, berolahraga dan kerja pos dulu. Sangat mengasyikan dan kami semua merindukan waktu itu kembali. Bayangan-bayangan itu sekelebat bermunculan. Bayangan kerinduan akan sentuhan magis pater Engels yang setia melayani seminaris yang sakit, Rm. Nani yang setia menemani seminaris yang belum paham akan bahasa inggris atau bahkan room  Aleks yang selalu menekankan table manner walaupun yang kami makan adalah bukan makanan ala restoran. Saya masih mengingat father Beni Lalo yang setia dengan sweater mautnya dan jam tangannya yang terkadang tanpa sadar beliau melihat pergelangan tangannya walaupun jamnya tersebut tak sempat beliau pakai. Apalagi patung Bunda Maria di lapangan Apel. Tempat saya berbakti menjadi ketua taman dan menjadikannya taman terbaik.. [hehe..pasti ada yang protes]. Semuanya merupakan kerinduan terdalam yang selalu saya rasakan. Meninggalkannya 6 tahun, rasa-rasanya baru kemarin saya meninggalkan seminari. Semua seminaris merasakan hal yang sama. Tak tergantikan oleh apapun apabila kita semua membandingkan dengan yang pernah kami alami selama di seminari.
Mulai dari nene onde, kamar sanggar hingga kebun jagung menyimpan misteri yang indah bagi setiap seminaris. Tak sabar menyebut nama-nama pelaku sejarah binal yang merusak keperawanan kebun jagung yang masih muda. Mulai dari kelompok ‘tukang makan’. Biasanya berasal dari 3 IPS, ada nama Esta Babo, Eman Susento, Ryano Depa, Ranjau-ranjau Cinta Zaga, Kijang Da Rato, Safan, Elberto, Astyn Nuwa, Ideputra, Mavis, Atoy, YAS, Jonda dan masih banyak lagi yang selalu mempraktikan kegiatan terlarang tersebut. Modus operandinya selalu sama, yakni di saku selalu tersedia korek api. Sederhana namun selalu jitu. Mungkin akibat terlalu melahap buku Sherlock Holmes di perpustakaan, walaupun Ibu Ona selalu marah akibat merusakkan buku. Tapi bagi seminaris, jagung adalah makanan tambahan yang super istimewa. Konon, teman saya Eman Susento yang sekarang berdomisili di Jakarta sangat berterimakasih karena sekarang dia sehat akibat mengkonsumsi jagung tersebut. Seperti Ryano dan Esta bertarung demi molen, Eman dan Jonda menjadi sejoli yang setia berada di medan pertempuran, yakni kebun jagung. Dalam kisah detektif karya S. Mara Gd, keduanya bisa disamakan dengan kapten Kosasih dan Gozali. Bagi 3 IPA, mencuri jagung adalah perbuatan tercela. Kelas ini merupakan penyumbang terbesar bagi pengurus inti OSIS. Jadi adalah aib bagi kelasnya pengurus OSIS berada di kebun dan meniru perbuatan Eman Susento cs. Namun, seperti nene Onde yang menawarkan Lombok, kebun jagung adalah refreshing tersendiri bagi penyuka ilmu-ilmu pasti di kelas pojok antara perpustakaan tersebut. Sehingga, dengan tingkat ketelitian yang akurat dan perhitungan matematis yang canggih, gerombolan IPA di bawah komando Isue berselancar dalam gigitan nyamuk di kebun jagung demi menambah asupan gizi. Ditemani asistennya Donald Bani, Isue seolah-olah menemukan teori baru yang membantah rumus pytaghoras yang terkenal itu. Kebun jagung adalah dalil tertinggi yang mengalahkan segalanya. Antara bendahara OSIS dan asupan gizi, Isue dan kawan-kawannya berada di persimpangan pilihan. Dan hasilnya mudah ditebak, Jagung is number One. Seperti Soekarno dan Hatta yang senang ketika telah memproklamasikan kemerdekaan, karena telah memproklamasikan kemerdekaan, Eman dan Isue menaklukan sebagian kebun jagung. Tentunya setelah memproklamasikan kepada para romo dan om-om Tanjung bahwa di bawah kepemimpinan sejoli tersebut  maka republik jagung yang bertempat di Tanjung dan sekitarnya akan takluk dalam perut-perut buncit mereka.
Bisa saya pastikan, berbicara panjang tentang Jagung membuat saya kelaparan. Tapi kisah jagung bukan berbicara tentang kelaparan. Seminaris selalu berpikir positif, sehingga tanpa ada perasaan bersalah kegiatan ini terus dilakukan hingga kami tamat. Apakah terus dilakukan? Saya yakin bahwa ini merupakan praktik turunan. Kami saja mencontoh dari kakak-kakak kelas kami. Meniru itu penting, apalagi yang berkaitan dengan asupan gizi seminaris. Tulisan ini adalah kenangan akan kerinduan saat kita bersama dulu di Seminari. Kenangan akan teman-teman yang berlutut di halaman tengah akibat terlambat doa siang. Kenangan akan kedamaian malam saat bolos nonton Liga Champion di Dolu. Semuanya hasil imitasi dan bukti bahwa selain ilmu pengetahuan, seminaris juga selalu mewarisi tindakan heroic lainnya. Misalnya bolos dan curi jagung. Memang kata mencuri sangat kasar, tapi dalam canda tawa kami setelah tamat, kata ini selalu kami pakai sebagai padanan yang pas bagi kegiatan kami dulu. Saat kami hanya melakukan tindakan tersebut sebagai tindakan iseng saat guru tidak masuk les ataukah memang disengaja untuk bergagah-gagahan masuk keluar kebun demi beberapa batang jagung.
Besok hari Valentine. Benak saya mengisyaratkan bahwa seminaris juga punya kegiatan alamiah menjelang hari valentine. Dengan sampul surat berwarna yang didapat dari kios om Rafel dan pak Piet Sawa, jam studi dipakai sebagai waktu menulis surat. Dari penjara suci buat kekasih hati di seberang jalan. SMP Kartini. Ini waktu SMP. Kalau SMA, harus jujur diakui bahwa surat lebih banyak dikirim via pos. Ada yang ke Ende, Maumere, Kupang bahkan ke tempat lain yang jauh dari Mataloko. Seminaris adalah pecinta kelas wahid. Mencintai dalam ketidakberdayaan raga. Mungkin moto yang tepat bagi seminaris yang memiliki pacar adalah ‘Dari Asrama, Kami Mencinta’. Karena memiliki huruf yang bagus dan mudah di baca, jasa tulisan tangan saya sering dipakai oleh beberapa teman sebagai penulis ungkapan hati mereka pada pujaan hati yang entah tak tahu dimana. Pernah juga oleh seorang kawan dekat kami, bersama Oby da Rato saya ditugaskan untuk merayu seorang anak SPK agar menjadi pacarnya. Ini terjadi dulu. Saat kami masih di seminari dan menjadi calon pastor. Tentang ini, hanya saya dan Oby yang tahu. Ini baru kisah kecil yang terkuak. Semangat kasih sayang selalu ada saban saat. Tanpa perlu hari valentine. Pernah ada, temah saya yang tertangkap suster kepala asrama putri Kartini karena kedapatan naik pagar ketika hendak memberikan surat titipan teman-teman untuk anak Kartini yang saat itu terlihat sangat cantik di mata kami. Saya sendiri juga punya kisah, tapi tidak sedalam teman-teman yang lain. Saya masih mengenang tentang Aldy dan Alda. Cinta monyet yang akan terus saya kenang.
Hari sudah malam, beberapa jam lagi tanggal 14 Februari 2011. Hari valentine. Saya dedikasikan tulisan asal ini untuk semua kawan yang pernah berjuang bersama agar tidak dicedok saat di seminari dulu. Buat kawan-kawan baikku, di IPS maupun IPA. Buat kelas IPA, bagaimana pun juga hingga saat ini juara vocal grup adalah IPS 2005. Sejak Rarong grogi dan salah gerak, maka kamilah yang juara. Saya ingat saat itu, soloist kelas IPS adalah Berto dan Astyn. Zaga menjadi tukang dengung. Dengungan itulah yang membuat kami juara. Juga secara special buat semua yang pernah terlibat dalam merawat panggilan suci kami: Nene Onde, Tanta Dapur, Om Tanjung, dan lain-lain. Pikiran kecil saya membuat semua kisah bagaikan drama yang tak lekang oleh waktu. Selamat Hari Valentine !!

Dedy Pedor

Minggu, 30 Januari 2011

Sepotong Senja Untuk Pacarku

Alina tercinta,

Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja--dengan angin,debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata,ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna.
Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu,
Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusupkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. “barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu!Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku.
Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
 “Catat nomernya!Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.”Senja!Senja!Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
”Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan...”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat,lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap.
Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali.Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
”Masuklah,”katanya tenang,”di situ kamu aman.”
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan.Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
”Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh.Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung—tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran  mimpi.
Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos.
Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
 Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina—semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya?
Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya?
Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja....
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin.
Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandnagn yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunya pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh...

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian.
Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ”asli” ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya—bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis,
Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium,peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
sumber: google


[karya seno gumira ajidarma]