OLEH : DEDY PEDOR
(Tulisan ini saya buat sebagai
bentuk kerinduan untuk bersama rakyat Sikka menyelami, betapa buruknya
pengambilan hajat hidup orang banyak yang seharusnya menyejahterakan rakyat.
Hormat saya secara pribadi, untuk semua elemen yang sudah meluangkan pikiran
dan kerja kerasnya untuk mengungkap dan mengedepankan fakta terkait dugaan
kasus korupsi di Sikka)
No To Korupsi! |
Sikka, dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir
belum mengalami suatu perkembangan pembangunan yang menjanjikan. Semuanya
terjadi begitu saja dan selalu begitu. Pergantian kekuasaan saban 5 tahun pun
tidak menjanjikan sesuatu yang mengubah nasib masyarakat. Bagi sekelumit orang,
memang ada perubahan yang signifikan. Namun berbicara bagi masyarakat banyak,
yang ada hanya pengulangan episode. Bahwa rakyat di kabupaten ini selalu berada
di bawah garis kemiskinan. Ini menyedihkan karena selalu berlangsung dan terus
berlangsung. Selama bertahun-tahun. Kabupaten Sikka berada di wilayah propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). Potret propinsi ini sebagai daerah yang termiskin dan
terbelakang tampak sangat jelas. Baik secara pengamatan yang dilakukan secara
langsung, maupun melihatnya melalui angka-angka statistik berupa indeks
pembangunan masyarakatnya. Jika dibandingkan dengan propinsi lainnya di
Indonesia, NTT jelas tertinggal. Jauh.
Imajinasi masyarakat tentang keindonesiaan
sepertinya terkurung dalam lingkaran setan kemiskinan, busung lapar,
infrastruktur minim, dan kehancuran ekologi. Proses pembangunan terasa begitu
lamban. Angka kematian bayi dan ibu sangat tinggi. Busung lapar merebak di
berbagai tempat. Kemajuan pendidikan yang sampai awal tahun 1980-a menjadi
kebanggaan, merosot dengan tajam. Tingkat kelulusan SMA dan sederajat pada
tahun 2010 bahkan terendah di antara 33 propinsi. Citra keterbelakangan semakin
kentara pada infrastruktur yang sangat minim. Jalan raya, pelabuhan laut,
bandara, pelayanan kesehatan, layanan air bersih dan listrik serba terbatas.
Masa depan tampak suram, sedangkan ancaman bahaya keganasan korupsi tidak
surut.
Terlalu berlebihan jika kemudian
kita menjadi diam dengan keadaan yang ada. Terlalu naif jika pembangunan yang
menjadi hajat hidup orang banyak hanya dinikmati oleh sekelumit orang. Saatnya
kita berbenah. Dalam pengertian luas, sebagai sebuah upaya agar meningkatkan
taraf kehidupan sehingga kita mampu menciptakan episode baru cerita tentang tanah air beta yang ideal. Potret buram ini bisa berakhir
jika rakyat menjadi pengawas tunggal pembangunan. Bersama pemerintah
mengusahakan pembangunan yang merata disegala bidang. Hanya itu saja? Tentu
saja tidak. Selanjutnya adalah berpikir dan beraksi tentang impian ideal yang
harus diterima sebagai ekses positif pembangunan yang dinikmati semua orang.
Ada apa dengan semua kenyataan ini?
Selain kata ‘cinta’ yang seringkali
menghiasi perbincangan dalam masyarakat dan sinetron di televisi, kata yang
sering disebut oleh masyarakat maupun
media masa adalah korupsi. Tentu kata ini tidak muncul dari sebuah ketiadaan.
Kata ini muncul beriringan dengan semakin maraknya gejala yang bernama korupsi
yang semakin telanjang di depan mata. Jika ditelusuri, kata korupsi (corruptio-Latin) sebenarnya sudah
dipakai sejak zaman para filsuf Yunani kuno. Aristoteles misalnya memakai kata
ini dalam bukunya De Generatione et
Corruptione. Bagi Aristoteles, kata korupsi dalam alam filsafatnya lebih
berarti perubahan. Meski punya warna ‘penurunan’.
Dalam artian ini, korupsi masih jauh dari kata kekuasaan apalagi uang. Kemudian
Lord Acton dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April
1887, menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal: “Power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely”. Tampak ada pergeseran makna, antara pemaknaan korupsi
pada zaman Aristoteles dan yang disampaikan oleh Lord Acton. Jika makna korupsi
pada zaman Aristoteles lebih melukiskan akibat yang terjadi, sedangkan di zaman
modern ini lebih menunjukkan sebabnya.
Kaitan antara korupsi dan kekuasaan
itulah yang sekarang marak menjadi inti definisi tentang korupsi. Baik yang
dipahami oleh masyarakat di Indonesia ataupun di dunia internasional baik itu
IMF maupun Tranparency International. Di
Indonesia, pada tahun 1954, Pramodya Ananta Toer mendeskripsikan hal ini dalam
novelnya yang berjudul korupsi (Binawan, 2006:xiii). Hanya saja pada saat itu,
uang sudah menjadi simbol keuntungan. Korupsi lalu diasosiasikan dengan uang.
Keterkaitan korupsi dengan penyalahgunaan kekuasaan itu pulalah yang memberikan
muatan moral pada korupsi. Dibandingkan dengan kata corruptio pada pemahaman Aristoteles, muatan moral pada kata
korupsi dewasa ini sangat kental. Pendeknya, korupsi bukan lagi bermakna
netral, melainkan sudah menjadi perkara moral. Dalam pemahaman baru, hanya
manusia yang nota bene punya kekuasaan dan kebebasan yang bisa melakukan
korupsi. Tikus tidak.
Dalam pemahaman umum, korupsi
diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan atau
kekuasaan publik untuk keuntungan privat. Makna ini mengalami
penyempitan makna yang sangat besar jika dibandingkan dengan pemaknaan korupsi
pada zaman Yunani kuno. Jika demikian, apakah korupsi hanya terjadi di wilayah
publik? Pertanyaan ini lalu berkaitan erat dengan pembedaan antara hukum dam
moral. Ketetapan yuridis yang dimaksudkan untuk mengatur perkara-perkara publik
dan memberi batasan tentang tindak pidana yang merupakan kejahatan publik akan
cenderung sempit dan bersifat minimal. Karena hukum hanya akan bersentuhan
dengan perkara-perkara pada ruang publik. Sebaliknya moralitas akan cenderung luas,
bersifat maksimal-ideal, dan karenanya menyentuh pada ruang privat. Korupsi
juga bisa dipahami sebagai pembusukan-pembusukan. Kebusukan menyebabkan
kerusakan. Bisa sebaliknya, kerusakan yang disebabkan oleh sebuah pembusukan.
Kita
semua yang sedang mencari kebenaran dalam dugaan kasus dana korupsi bansos di
Sikka menuntut keadilan dalam bentuk yang sama. Menuntut keadilan yang telah
diselewengkan oleh penguasa. Mari melihat keadaan dari kondisi keseimbangan, sehingga
semuanya menjadi lurus dan teratur. Sikka membutuhkan semua perubahan demi
keadaan yang lebih baik. Untuk Sikka? Saatnya berbuat dan melihat masalah dari
posisi yang seimbang !!
Penulis adalah orang
maumere.mahasiswa pascasarjana studi kebijakan publik.tinggal di Malang.
PUSTAKA
Binawan, Al. Andang L. (ed.). 2006.
Korupsi Kemanusiaan. Kompas: Jakarta
Moedjiono, Atika Walujani (ed.).
2011. Ekspedisi Jejak Peradaban NTT. Kompas: Jakarta