Selasa, 22 Februari 2011

NENE ONDE, TANJUNG DAN JAGUNG : SEMUA KISAH BERMULA !!

[Ini kisah kita dulu. Saat di seminari. Mari terus mencinta sebagai keluarga besar Seminari Mataloko. Salam hangat dari Malang buat kawan-kawan semua]

Anak Seminari sangat mengenal Nene Onde. Beliau adalah orang tua yang mencari nafkah dengan menjual aneka jajanan ringan bagi seminaris kala jam makan malam ataupun makan siang. Yang dijual pun bermacam-macam mulai dari advokat, Lombok, hingga onde-onde yang sangat laris menjelang jam rekreasi pada pukul 20.00 WITA. Lokasi berjualan pun tetap, yakni di lorong antara koridor dapur dan kamar makan SMA. Sebagai seminaris yang hanya makan ‘enak’ pada hari Selasa, Jumat dan Minggu siang; keberadaan nenek onde dan berbagai macam barang dagangan menarik perhatian dan tentunya perut kami. Saya mulai mengenal nene onde ketika masuk SMA kelas I, dan saya sangat yakin bahwa sejak saat itu nene onde menjadi sangat terkenal dengan menu khasnya yang tiga jenis: Lombok, Krupuk, dan Onde. Sebab kalau advokat agak susah bersaing sebab banyak seminaris yang juga memiliki banyak keahlian mendapatkan advokat dari kebun seminari. Alias mencuri advokat dari kebun seminari. Sebenarnya, jika mau jujur banyak kritik yang hendak diberikan kepada dagangan nene onde. Salah satunya adalah pertanyaan luhur tentang tingkat higienis Lombok hasil kreasi nene onde. Tapi apa mau dikata, seminaris yang kalau makan ‘tanam’ jika ada lauk menjadikan Lombok sebagai umpan bagi nasi jagung dan sayur kacang untuk masuk. Kami semua pernah memakan hasil karya tangan nene onde, menyantapnya dengan lugu tanpa ada protes. Pada tahapan ini, seminaris mengingkari sabda Tuhan. Semuanya terlarut dalam santapan duniawi. Nene onde seolah-olah iblis yang merayu seminaris untuk tetap membeli walaupun jam rekreasi urung tiba. Kami senang dan kami menikmati ‘kucing-kucingan’ dengan formatores akibat seringnya kami menyambangi nene onde penyelamat kami kala jam makan tiba.
          Tulisan ini saya buat sehari sebelum tanggal 14 Februari 2011. Semua mengetahui bahwa tanggal 14nya adalah hari kasih sayang. Tiba-tiba dalam kesendirian saya di kamar kost, gambar-gambar tentang seminari kembali melintas dalam benak saya. Mulai dari Bok S, tempat segenap kemampuan seminaris mencuri dan membakar jagung, perlahan-lahan menuju kebun jagung samping Kemah Tabor, tempat seminaris mencari sinyal handphone yang pertama dalam kepekatan malam nan dingin di lembah sasa. Semuanya berpendar perlahan, seolah-olah saya masih memakai jaket tebal dan duduk di bangku-bangku plastik dalam kelas yang dibangun sejak 80 tahun lalu. Bayangan ini kembali membawa saya ke belakang ruang sanggar, saya ingat  ini adalah lokasi strategis bagi penata rambut seminari yang tergabung dalam seksi handsome salon. Dengan biaya sebesar 500 rupiah, maka anda dipastikan tampil klimis dengan gaya rambut orang suci ala seminaris agar terhindar dari tatapan maut ketua keamanan. Masuk ke ruang sanggar, saya mencoba mengingat kembali kenangan bersama teater KATA, teater yang kami besarkan sebagai bagian dari menumbuhkan minat seni dan kreativitas seminaris. Lama di situ, maka datanglah tumpukan teks-teks drama, mulai dari lembah maut, Yeremia, Pengadilan di atas awan, Pulau Bunga dan berbagai jenis pementasan yang pernah kami lakukan. Semuanya indah. Dari kamar Tidur saya di kota Malang, saya mencoba mengingat semuanya seperti hendak meminta kepada Tuhan, kembalikan waktu saya dulu. Waktu kami sama-sama merasakan makan nasi jagung yang berulat, berolahraga dan kerja pos dulu. Sangat mengasyikan dan kami semua merindukan waktu itu kembali. Bayangan-bayangan itu sekelebat bermunculan. Bayangan kerinduan akan sentuhan magis pater Engels yang setia melayani seminaris yang sakit, Rm. Nani yang setia menemani seminaris yang belum paham akan bahasa inggris atau bahkan room  Aleks yang selalu menekankan table manner walaupun yang kami makan adalah bukan makanan ala restoran. Saya masih mengingat father Beni Lalo yang setia dengan sweater mautnya dan jam tangannya yang terkadang tanpa sadar beliau melihat pergelangan tangannya walaupun jamnya tersebut tak sempat beliau pakai. Apalagi patung Bunda Maria di lapangan Apel. Tempat saya berbakti menjadi ketua taman dan menjadikannya taman terbaik.. [hehe..pasti ada yang protes]. Semuanya merupakan kerinduan terdalam yang selalu saya rasakan. Meninggalkannya 6 tahun, rasa-rasanya baru kemarin saya meninggalkan seminari. Semua seminaris merasakan hal yang sama. Tak tergantikan oleh apapun apabila kita semua membandingkan dengan yang pernah kami alami selama di seminari.
Mulai dari nene onde, kamar sanggar hingga kebun jagung menyimpan misteri yang indah bagi setiap seminaris. Tak sabar menyebut nama-nama pelaku sejarah binal yang merusak keperawanan kebun jagung yang masih muda. Mulai dari kelompok ‘tukang makan’. Biasanya berasal dari 3 IPS, ada nama Esta Babo, Eman Susento, Ryano Depa, Ranjau-ranjau Cinta Zaga, Kijang Da Rato, Safan, Elberto, Astyn Nuwa, Ideputra, Mavis, Atoy, YAS, Jonda dan masih banyak lagi yang selalu mempraktikan kegiatan terlarang tersebut. Modus operandinya selalu sama, yakni di saku selalu tersedia korek api. Sederhana namun selalu jitu. Mungkin akibat terlalu melahap buku Sherlock Holmes di perpustakaan, walaupun Ibu Ona selalu marah akibat merusakkan buku. Tapi bagi seminaris, jagung adalah makanan tambahan yang super istimewa. Konon, teman saya Eman Susento yang sekarang berdomisili di Jakarta sangat berterimakasih karena sekarang dia sehat akibat mengkonsumsi jagung tersebut. Seperti Ryano dan Esta bertarung demi molen, Eman dan Jonda menjadi sejoli yang setia berada di medan pertempuran, yakni kebun jagung. Dalam kisah detektif karya S. Mara Gd, keduanya bisa disamakan dengan kapten Kosasih dan Gozali. Bagi 3 IPA, mencuri jagung adalah perbuatan tercela. Kelas ini merupakan penyumbang terbesar bagi pengurus inti OSIS. Jadi adalah aib bagi kelasnya pengurus OSIS berada di kebun dan meniru perbuatan Eman Susento cs. Namun, seperti nene Onde yang menawarkan Lombok, kebun jagung adalah refreshing tersendiri bagi penyuka ilmu-ilmu pasti di kelas pojok antara perpustakaan tersebut. Sehingga, dengan tingkat ketelitian yang akurat dan perhitungan matematis yang canggih, gerombolan IPA di bawah komando Isue berselancar dalam gigitan nyamuk di kebun jagung demi menambah asupan gizi. Ditemani asistennya Donald Bani, Isue seolah-olah menemukan teori baru yang membantah rumus pytaghoras yang terkenal itu. Kebun jagung adalah dalil tertinggi yang mengalahkan segalanya. Antara bendahara OSIS dan asupan gizi, Isue dan kawan-kawannya berada di persimpangan pilihan. Dan hasilnya mudah ditebak, Jagung is number One. Seperti Soekarno dan Hatta yang senang ketika telah memproklamasikan kemerdekaan, karena telah memproklamasikan kemerdekaan, Eman dan Isue menaklukan sebagian kebun jagung. Tentunya setelah memproklamasikan kepada para romo dan om-om Tanjung bahwa di bawah kepemimpinan sejoli tersebut  maka republik jagung yang bertempat di Tanjung dan sekitarnya akan takluk dalam perut-perut buncit mereka.
Bisa saya pastikan, berbicara panjang tentang Jagung membuat saya kelaparan. Tapi kisah jagung bukan berbicara tentang kelaparan. Seminaris selalu berpikir positif, sehingga tanpa ada perasaan bersalah kegiatan ini terus dilakukan hingga kami tamat. Apakah terus dilakukan? Saya yakin bahwa ini merupakan praktik turunan. Kami saja mencontoh dari kakak-kakak kelas kami. Meniru itu penting, apalagi yang berkaitan dengan asupan gizi seminaris. Tulisan ini adalah kenangan akan kerinduan saat kita bersama dulu di Seminari. Kenangan akan teman-teman yang berlutut di halaman tengah akibat terlambat doa siang. Kenangan akan kedamaian malam saat bolos nonton Liga Champion di Dolu. Semuanya hasil imitasi dan bukti bahwa selain ilmu pengetahuan, seminaris juga selalu mewarisi tindakan heroic lainnya. Misalnya bolos dan curi jagung. Memang kata mencuri sangat kasar, tapi dalam canda tawa kami setelah tamat, kata ini selalu kami pakai sebagai padanan yang pas bagi kegiatan kami dulu. Saat kami hanya melakukan tindakan tersebut sebagai tindakan iseng saat guru tidak masuk les ataukah memang disengaja untuk bergagah-gagahan masuk keluar kebun demi beberapa batang jagung.
Besok hari Valentine. Benak saya mengisyaratkan bahwa seminaris juga punya kegiatan alamiah menjelang hari valentine. Dengan sampul surat berwarna yang didapat dari kios om Rafel dan pak Piet Sawa, jam studi dipakai sebagai waktu menulis surat. Dari penjara suci buat kekasih hati di seberang jalan. SMP Kartini. Ini waktu SMP. Kalau SMA, harus jujur diakui bahwa surat lebih banyak dikirim via pos. Ada yang ke Ende, Maumere, Kupang bahkan ke tempat lain yang jauh dari Mataloko. Seminaris adalah pecinta kelas wahid. Mencintai dalam ketidakberdayaan raga. Mungkin moto yang tepat bagi seminaris yang memiliki pacar adalah ‘Dari Asrama, Kami Mencinta’. Karena memiliki huruf yang bagus dan mudah di baca, jasa tulisan tangan saya sering dipakai oleh beberapa teman sebagai penulis ungkapan hati mereka pada pujaan hati yang entah tak tahu dimana. Pernah juga oleh seorang kawan dekat kami, bersama Oby da Rato saya ditugaskan untuk merayu seorang anak SPK agar menjadi pacarnya. Ini terjadi dulu. Saat kami masih di seminari dan menjadi calon pastor. Tentang ini, hanya saya dan Oby yang tahu. Ini baru kisah kecil yang terkuak. Semangat kasih sayang selalu ada saban saat. Tanpa perlu hari valentine. Pernah ada, temah saya yang tertangkap suster kepala asrama putri Kartini karena kedapatan naik pagar ketika hendak memberikan surat titipan teman-teman untuk anak Kartini yang saat itu terlihat sangat cantik di mata kami. Saya sendiri juga punya kisah, tapi tidak sedalam teman-teman yang lain. Saya masih mengenang tentang Aldy dan Alda. Cinta monyet yang akan terus saya kenang.
Hari sudah malam, beberapa jam lagi tanggal 14 Februari 2011. Hari valentine. Saya dedikasikan tulisan asal ini untuk semua kawan yang pernah berjuang bersama agar tidak dicedok saat di seminari dulu. Buat kawan-kawan baikku, di IPS maupun IPA. Buat kelas IPA, bagaimana pun juga hingga saat ini juara vocal grup adalah IPS 2005. Sejak Rarong grogi dan salah gerak, maka kamilah yang juara. Saya ingat saat itu, soloist kelas IPS adalah Berto dan Astyn. Zaga menjadi tukang dengung. Dengungan itulah yang membuat kami juara. Juga secara special buat semua yang pernah terlibat dalam merawat panggilan suci kami: Nene Onde, Tanta Dapur, Om Tanjung, dan lain-lain. Pikiran kecil saya membuat semua kisah bagaikan drama yang tak lekang oleh waktu. Selamat Hari Valentine !!

Dedy Pedor

1 komentar:

  1. Hahahahahaha... cerita yang menarik, teman... :)

    Tapi, jangan salah.. IPA waktu itu bukan kalah di lomba vokal group.. Kami hanya membiarkan teman2 IPS merasakan apa yang disebut kemenangan... Jadi, waktu itu kami hanya mengamalkan ajaran Yesus untuk berbelas kasih kepada sesama yang membutuhkan (aka IPS)... PEACE... ^_^

    BalasHapus