Sabtu, 28 Juli 2012

BANSOS SIKKA: ANTARA HAJAT HIDUP DAN LAHAN KORUPSI



OLEH : DEDY PEDOR

(Tulisan ini saya buat sebagai bentuk kerinduan untuk bersama rakyat Sikka menyelami, betapa buruknya pengambilan hajat hidup orang banyak yang seharusnya menyejahterakan rakyat. Hormat saya secara pribadi, untuk semua elemen yang sudah meluangkan pikiran dan kerja kerasnya untuk mengungkap dan mengedepankan fakta terkait dugaan kasus korupsi di Sikka)

No To Korupsi!
Sikka, dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir belum mengalami suatu perkembangan pembangunan yang menjanjikan. Semuanya terjadi begitu saja dan selalu begitu. Pergantian kekuasaan saban 5 tahun pun tidak menjanjikan sesuatu yang mengubah nasib masyarakat. Bagi sekelumit orang, memang ada perubahan yang signifikan. Namun berbicara bagi masyarakat banyak, yang ada hanya pengulangan episode. Bahwa rakyat di kabupaten ini selalu berada di bawah garis kemiskinan. Ini menyedihkan karena selalu berlangsung dan terus berlangsung. Selama bertahun-tahun. Kabupaten Sikka berada di wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Potret propinsi ini sebagai daerah yang termiskin dan terbelakang tampak sangat jelas. Baik secara pengamatan yang dilakukan secara langsung, maupun melihatnya melalui angka-angka statistik berupa indeks pembangunan masyarakatnya. Jika dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia, NTT jelas tertinggal. Jauh.
Imajinasi masyarakat tentang keindonesiaan sepertinya terkurung dalam lingkaran setan kemiskinan, busung lapar, infrastruktur minim, dan kehancuran ekologi. Proses pembangunan terasa begitu lamban. Angka kematian bayi dan ibu sangat tinggi. Busung lapar merebak di berbagai tempat. Kemajuan pendidikan yang sampai awal tahun 1980-a menjadi kebanggaan, merosot dengan tajam. Tingkat kelulusan SMA dan sederajat pada tahun 2010 bahkan terendah di antara 33 propinsi. Citra keterbelakangan semakin kentara pada infrastruktur yang sangat minim. Jalan raya, pelabuhan laut, bandara, pelayanan kesehatan, layanan air bersih dan listrik serba terbatas. Masa depan tampak suram, sedangkan ancaman bahaya keganasan korupsi tidak surut.
            Terlalu berlebihan jika kemudian kita menjadi diam dengan keadaan yang ada. Terlalu naif jika pembangunan yang menjadi hajat hidup orang banyak hanya dinikmati oleh sekelumit orang. Saatnya kita berbenah. Dalam pengertian luas, sebagai sebuah upaya agar meningkatkan taraf kehidupan sehingga kita mampu menciptakan episode baru cerita tentang tanah air beta  yang ideal. Potret buram ini bisa berakhir jika rakyat menjadi pengawas tunggal pembangunan. Bersama pemerintah mengusahakan pembangunan yang merata disegala bidang. Hanya itu saja? Tentu saja tidak. Selanjutnya adalah berpikir dan beraksi tentang impian ideal yang harus diterima sebagai ekses positif pembangunan yang dinikmati semua orang. Ada apa dengan semua kenyataan ini?
            Selain kata ‘cinta’ yang seringkali menghiasi perbincangan dalam masyarakat dan sinetron di televisi, kata yang sering disebut oleh  masyarakat maupun media masa adalah korupsi. Tentu kata ini tidak muncul dari sebuah ketiadaan. Kata ini muncul beriringan dengan semakin maraknya gejala yang bernama korupsi yang semakin telanjang di depan mata. Jika ditelusuri, kata korupsi (corruptio-Latin) sebenarnya sudah dipakai sejak zaman para filsuf Yunani kuno. Aristoteles misalnya memakai kata ini dalam bukunya De Generatione et Corruptione. Bagi Aristoteles, kata korupsi dalam alam filsafatnya lebih berarti perubahan. Meski punya warna ‘penurunan’. Dalam artian ini, korupsi masih jauh dari kata kekuasaan apalagi uang. Kemudian Lord Acton dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887, menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal: “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Tampak ada pergeseran makna, antara pemaknaan korupsi pada zaman Aristoteles dan yang disampaikan oleh Lord Acton. Jika makna korupsi pada zaman Aristoteles lebih melukiskan akibat yang terjadi, sedangkan di zaman modern ini lebih menunjukkan sebabnya.
            Kaitan antara korupsi dan kekuasaan itulah yang sekarang marak menjadi inti definisi tentang korupsi. Baik yang dipahami oleh masyarakat di Indonesia ataupun di dunia internasional baik itu IMF maupun Tranparency International. Di Indonesia, pada tahun 1954, Pramodya Ananta Toer mendeskripsikan hal ini dalam novelnya yang berjudul korupsi (Binawan, 2006:xiii). Hanya saja pada saat itu, uang sudah menjadi simbol keuntungan. Korupsi lalu diasosiasikan dengan uang. Keterkaitan korupsi dengan penyalahgunaan kekuasaan itu pulalah yang memberikan muatan moral pada korupsi. Dibandingkan dengan kata corruptio pada pemahaman Aristoteles, muatan moral pada kata korupsi dewasa ini sangat kental. Pendeknya, korupsi bukan lagi bermakna netral, melainkan sudah menjadi perkara moral. Dalam pemahaman baru, hanya manusia yang nota bene punya kekuasaan dan kebebasan yang bisa melakukan korupsi. Tikus tidak.
            Dalam pemahaman umum, korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan atau  kekuasaan publik untuk keuntungan privat. Makna ini mengalami penyempitan makna yang sangat besar jika dibandingkan dengan pemaknaan korupsi pada zaman Yunani kuno. Jika demikian, apakah korupsi hanya terjadi di wilayah publik? Pertanyaan ini lalu berkaitan erat dengan pembedaan antara hukum dam moral. Ketetapan yuridis yang dimaksudkan untuk mengatur perkara-perkara publik dan memberi batasan tentang tindak pidana yang merupakan kejahatan publik akan cenderung sempit dan bersifat minimal. Karena hukum hanya akan bersentuhan dengan perkara-perkara pada ruang publik. Sebaliknya moralitas akan cenderung luas, bersifat maksimal-ideal, dan karenanya menyentuh pada ruang privat. Korupsi juga bisa dipahami sebagai pembusukan-pembusukan. Kebusukan menyebabkan kerusakan. Bisa sebaliknya, kerusakan yang disebabkan oleh sebuah pembusukan.
Kita semua yang sedang mencari kebenaran dalam dugaan kasus dana korupsi bansos di Sikka menuntut keadilan dalam bentuk yang sama. Menuntut keadilan yang telah diselewengkan oleh penguasa. Mari melihat keadaan dari kondisi keseimbangan, sehingga semuanya menjadi lurus dan teratur. Sikka membutuhkan semua perubahan demi keadaan yang lebih baik. Untuk Sikka? Saatnya berbuat dan melihat masalah dari posisi yang seimbang !!

Penulis adalah orang maumere.mahasiswa pascasarjana studi kebijakan publik.tinggal di Malang.

PUSTAKA

Binawan, Al. Andang L. (ed.). 2006. Korupsi Kemanusiaan. Kompas: Jakarta
Moedjiono, Atika Walujani (ed.). 2011. Ekspedisi Jejak Peradaban NTT. Kompas: Jakarta