Senin, 27 Desember 2010

Tim Nasional Kalah: Sekali Kambing [Hitam] Tetap Kambing !!

Waktu menunjukkan pukul  18.00. Dimana semuanya sudah dihinggapi euforia pertandingan bola. Kemarin, tepatnya 26 Desember 2010 Timnas Indonesia akan main di Stadion Bukit Jalil menghadapi tuan rumah Malaysia. Saya mendapatkan beberapa pesan singkat dari beberapa kawan tentang pertandingan yang bersejarah kemarin.  Ada pesan yang mengingatkan “Malam semua, jgn lupa nntn timnas Indonesia maen vrsus Malingsia di RCTI jam set 7”.... Dan ada lagi bunyi sms yang masuk ke ponsel saya seperti demikian “Pok amee—ammee...Belalang lagi terbang,,,Bilang rame-rame kalo TIMNAS pasti menang...Amin”. Dalam doa rakyat bangsa ini berharap dan dalam harap bangsa ini terus berdoa. Rakyat Indonesia selalu optimis dan memang mahal harganya bagi sebuah harga keoptimisan yang besar.
Saat di sms dan waktu yang semakin dekat untuk menyaksikan pertandingan timnas, bersama teman-teman PMKRI Komisariat Merdeka Malang masih berada di Panti Asuhan St. Theresa Malang. Ada beberapa pilihan yang terjadi, menonton bola atau lanjutkan acara kunjungan ke panti asuhan hingga selesai. Nasionalisme antara-antara. Keduanya penting antara Nasionalisme dan tindakan humanis. Pilihan akhirnya tetap melanjutkan acara. Hingga selesai di panti asuhan. Dengan hp milik teman yang memiliki fitur layanan televisi, kami menyaksikan laga itu berjalan. Laga berjalan dalam diam, sedangkan Malaysia terus bersorak menenggelamkan semangat dan asa pemain timnas bermain. Mulai dari sinar laser, semuanya berubah. Vietnam mengalami hal yang sama, dan Indonesia ternyata korban berikutnya dan cara itu berhasil, Kita kena bogem tiga kali tanpa balas. Di akun jejaring sosial, semuanya berulah. Hanya ada makian, penyesalan, rasa kecewa, ada yang masih optimis, tapi sesungguhnya yang kalah tetap kalah. Apapun caranya yang kita alami, kita kalah. Semuanya bisa saja terjadi tapi pertandingan semalam menyiratkan peringatan bahwa bangsa ini selalu kalah. Kalah dalam segala hal.
Kambing Hitam [Google]
Banyak hal yang terjadi. Banyak kambing-kambing hitam yang muncul. Mulai dari kambing lama yaitu Nurdin Halid, PSSI, Liga yang amburadul hingga saat ini kambing lainnya bermunculan. Sejak istoghosah dan kunjungan ke rumah ketua partai golkar. Bukan hanya itu saja, mental selebritis dan budaya pop mengantui semangat timnas. Kita keok akibat ulah sendiri. Demikian kira-kira generalisai akibat kekalahan timnas semalam dari sekian banyak unek-unek masyarakat bangsa Indonesia yang langsung beredar melalui situs-situ jejaring sosial. Semuanya kecewa tapi sekali kambing tetap kambing. Hanya menjadi akar masalah. Tapi sebagian lagi masih optimis. Masih yakin timnas juara. Itu harapan semua bangsa. Kita boleh kalah semalam tapi yang jelas tanggal 29 di GBK kita ditabhiskan sebagai juara ASEAN pertama kalinya sejak 1996. Catatan sejarah masih mengenang itu. 14 Tahun kita hampa, tidak disinggahi nasib baik kemenangan dalam bidang sepakbola. Gelar bagi PSSI terakhir kita dapat pada medio 1991. Lama. Lama sekali dan itu dulu. Bagaimana sekarang? Kita berharap nasib baik dan Kemenangan. Itu saja yang bisa membuat luka menjadi kekuatan, mengubah tragedi menjadi simponi.
Menyaksikan laga sejak menit ke 57 dan saat itulah kita kalah. Dalam hati meratapi kekalahan itu. Dalam diam semuanya mengutuk Malaysia, ada yang memaki dan ada yang tetap diam. Hanya diam yang mengobati luka. Hanya diam yang mengatasi hati yang luka. Tindakan tidak sportif yang dilakukan pendukung Malaysia ketika menjamu Indonesia di leg pertama final AFF Cup 2010, Minggu (26/12/2010) membuat geram publik di tanah air. Demi meluapkan kekesalan, ramai-ramai mengutuk penggunaan sinar laser oleh publik negeri jiran melalui Twitter. Tercatat mulai pukul 21.00 WIB #malaysiacheatlaser nongkrong sebagai trending topic di situs mikrobloging tersebut. Hampir seluruh twit yang muncul dan didominasi pendukung Indonesia mengungkapkan kekecewaan sampai caci maki, "Pertandingan harus diulang!!malaysia jelas2 curang,pake sinar laser,bikin pemain ga konsen!" tulis salah seorang fans Merah Putih dalam twit-nya. Sementara salah satu pendukung Malaysia yan mencoba memberikan sedikit komentar langsung disambut emosi pendukung Indonesia. "Penyokong Indonesia tidak boleh terima kekalahan ini. Tapi itulah lumrah," tulisnya, yang kemudian dibalas, "PERCUMA LO MENANG !LO MAIN CURANG." Laskar Merah Putih kita memang diketahui kalah 3-0 dari Tim berjuluk Harimau Malaya. Namun publik menilai hasil itu tidak lepas dari tindakan tidak terpuji pendukung tuan rumah yang sengaja menembakkan sinar laser dengan tujuan menggangu konsentrasi pemain lawan. Sejak awal Indonesia memang telah mengantisipasi hal semacam itu. Bahkan sebelum laga digelar pasukan Garuda mengancam walk out jika hal yang sebelumnya sempat dikeluhkan oleh Vietnam ketika bermain di Stadion Bukit Jalil pada semifinal pertama juga menimpa mereka.
Prediksi atau..?? [Google]
Itulah kenyataan. Itulah yang telah terjadi. Itulah kenyataan yang kita terima. Memang pahit tapi harus optimis. Di situs Okezone.com banyak kambing yang yang ditenggarai menjadi penyebab kekalahan timnas. Undangan ketua partai juga menjadi kambing yang selalu dikecam. Baik oleh pengamat politik hingga yang tidak paham politik sekalipun. Itulah kambing-kambing [hitam] kekalahan timnas semalam. Kita memang kalah segala hal. Apalagi PSSI, hanya berisikan orang-orang oportunis, tendensius dan selalu mengorbankan kepentingan bangsa. PSSI itu kandang kambing, dan banyak lagi kambing lainnya yang memang berasal dari kandang ini. Aneh.
Kita perlu optimis. Sekali kambing tetap jadi kambing dan tidak bisa mengubah cerita tragedi menjadi alunan simponi indah kemenangan. PSSI, Golkar, Nurdin, Ketua Partai, Laser, Bonus, Mental Artis, Infotaintmen, semuanya menjadi kambing-kambing dari kandang yang sama. Semuanya hanya bisa mencederai demi kepentingan tertentu. Kasihan masyarakat, dalam diam semuanya berharap dan dalam harap semuanya berdoa. Tapi mau bagaimana lagi, kita tetap optimis timnas nanti bisa juara di leg ke 2 di Jakarta nanti. Timnas memang kalah dan kambing-kambing itu akan tetap jadi kambing!!

[Dibuat setelah kekalah tim Indonesia dari Malaysia di AFF Cup Leg I]

Otonomi Daerah : Perwujudan Kebijakan Demokrasi di Indonesia


Sumber: Google
 [Catatan Kecil Tentang Demokrasi Indonesia]

Pada dasarnya otonomi daerah merupakan salah satu wujud kepedulian pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pemerintah pusat lebih berorientasi pada masalah-masalah makro dan bersifat global. Urusan daerah merupakan urusan daerah itu sendiri. Di sini pemerintah pusat memberikan kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya. Adanya kepercayaan dari pemerintah pusat menunjukkan bahwa daerah tersebut bisa mandiri. Dalam arti bahwa daerah itu mampu mengatasi masalah-masalah lokal tanpa campur tangan pemerintah pusat. Kemandirian merupakan sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah pusat tidak lagi mendominasi suatu daerah. Pemerintah hanya berperan sebagai supervisor, pengawas. Pemerintah juga mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah yang bertanggung jawab itu tidak terlepas dari perpaduan antara visi yang jelas, konsep yang sesuai, dan syarat-syarat yang memadai antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berperan sebagai pelaksananya.
Sumber: Google
Visi otonomi daerah dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama yaitu politik, ekonomi, serta sosial dan budaya.
Pertama, di bidang politik. Otonomi daerah harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi pemilihan kepala pemerintahan daerah yang demokratis, responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Selain itu, ada transparansi kebijakan. Otonomi daerah berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, sistem dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif serta sistem pemerintahan yang efektif.
Kedua, di bidang ekonomi. Otonomi daerah menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah dan terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mendayagunakan potensi ekonomi di daerahnya.
Ketiga, di bidang sosial budaya. Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.



Dalam menuju tata pemerintahan lokal, pemerintah daerah dan masyarakat lokal harus mengubah dirinya sendiri.  Pemerintah daerah merupakan elemen penting dalam kehidupan masyarakat terutama pada era desentralisasi dan harus di tranformasikan untuk mencapai tata pemerintahan lokal yang sesuai dengan tuntutan desentralisasi. Untuk mencapai tata pemerintahan lokal oleh pemerintah daerah, harus terdapat pengembangan kapasitas pemerintah daerah yang mencakup reformasi pemerintah daerah, peningkatan kemampuan organisasional dalam perumusan pengambilan kebijakan dan pelayanan publik, kondisi finansial pemerintah daerah yang stabil dan baik, dan pembangunan kapasitas dari pegawai negeri daerah.  Reformasi pemerintah daerah dalam beberapa hal mengadopsi beberapa langkah berikut yaitu pemangkasan biaya, restrukturisasi, privatisasi, indikator pelaksanaan tugas, dan evaluasi kebijakan.  Dalam reformasi demikian, elemen yang harus diperhatikan adalah pegawai negeri daerah dan masyarakat lokal. Pengembangan kapasitas dua element tersebut sangat menentukan dalam berfungsinya tata pemerintahan lokal.  Demi mencapai pengembangan kapasitas mereka, harus diberikan kesempatan untuk berpastisipasi dalam skema kemitraan di tata pemerintahan lokal.
Satu peristiwa paling dramatis di akhir abad 21 adalah pergerakan Indonesia menuju demokratisasi.  Perubahan dan transisi terjadi dimana-mana di seluruh penjuru negeri, tidak dapat dipungkiri bahwa kelahiran demokrasi di Indonesia membawa cerita yang tidak selalu manis.  Namun demikian, keterbukaan politik yang dirasakan belakangan ini, pertumbuhan civil society, kebebasan media dan   tuntutan akuntabilitas pemerintah telah menjadi warna demokrasi Indonesia.  Saat ini semua kalangan masyarakat sudah menjadi partner dan stakeholder dalam demokratisasi Indonesia. Pilkada sebagaimana diketahui bersama merupakan bentukan dari proses desentralisasi di Indonesia dengan dasar hukum UU No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.  Sejak 2001, Indonesia memulai kembali proses desentralisasi yang terhenti sejak digagas pertama kali tahun 1933 oleh Hatta dalam tulisannya “Otonomi dan Sentralisasi dalam Partai”  dan selama tujuh tahun ini kebijakan desentralisasi memberikan banyak warna terhadap perjalanan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Proses desentralisasi itu sendiri merupakan proses yang sangat penting dan menentukan masa depan Indonesia; Keberhasilan dan kegagalan kebijakan ini akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama kehidupan demokrasi di Indonesia. Demokrasi menurut Diamond harus dipandang sebagai fenomena yang berkelanjutan (Diamond: 1999).  Dipandang dari perspektif ini, masa depan demokrasi adalah adalah tiada henti; elemen-elemen demokrasi akan muncul dan berkembang dalam berbagai tingkatan dan tahapan dengan tingkat kecepatan yang berbeda-beda di setiap negara.  Perubahan demokrasi juga bergerak menuju arah yang berbeda, bisa menjadi semakin demokratik dan bisa juga semakin tidak demokratik. Oleh karena itulah demokrasi harus selalu diperkuat baik dengan penguatan institusi maupun penguatan civil society.   Desentralisasi bukan hanya persoalan pengaturan hubungan antar berbagai tingkatan pemerintahan namun juga merupakan persoalan mengenai hubungan antara negara dan rakyatnya.  Kebijakan desentralisasi bukanlah tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah semata namun juga merupakan tanggung jawab masyarakat lokal sebagai pihak yang memiliki hak utama dalam penyelenggaraan kehidupan lokal.  Hal ini akan tercapai melalui lembaga perwakilan masyarakat lokal dalam wadah yang DPRD melalui proses pemilu yang bebas. 
Kebijakan pemberlakuan otonomi membuat setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang diselenggarakan sejak tahun 2005, membuat kepala daerah terpilih mendapat legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD. Pada waktu sekarang ini sebagai ciri demokrasi ialah bahwa tiap-tiap keputusannya selalu bersandarkan atas dasar kelebihan suara. Golongan besar memperoleh suara terbanyak, sedangkan golongan kecil menderita kekalahan. Indonesia pertama kali melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih para wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Tentunya kepala daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat. Tetapi harapan tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Kekuatan visi & kompetensi kepala daerah terpilih menjadi salah satu penentu, di samping faktor-faktor lain. Tantangan terberat bagi kepala daerah terpilih adalah melaksanakan visi, misi, dan janji-janji semasa kampanye, yang hampir semuanya pasti baik. 
Setidaknya ada empat hal yang harus dimiliki dan disiapkan oleh birokrasi di daerah dalam melaksanakan pemerintahan daerah yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Empat hal itulah yang disebut dengan 4 Pilar Pembangunan. Disebut empat pilar pembangunan karena dengan 4 hal ini diharapkan agar para birokrat dapat menjalankan perannya dalam membangun daerahnya sehingga bisa optimal.
Pilar Pertama: Sumber Daya Manusia (SDM)
Mengapa SDM ? Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan penentu. SDM seperti apa yang diperlukan ? Yaitu SDM yang memiliki: moral yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan manajerial (managerial skill), dan kemampuan teknis (technical skill). Sebuah daerah yang maju perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi tersebut, diberbagai level jabatan & fungsinya. Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Saat ini tuntutan penerapan 3G (Good Government Governance) terus-menerus digaungkan oleh berbagai pihak. Penerapan prinsip-prinsip transparansi & akuntabilitas tanpa didukung oleh aparat yang bermoral baik, pada akhirnya hanya akan berhenti di tingkat wacana saja. Moral yang baik belumlah cukup, tapi juga harus diimbangi dengan kompetensi. Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus menjadi perhatian. Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif & cepat tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.
Pilar Kedua: Kebijakan
Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada berbagai stakeholder, terutama kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan tersebut akan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) maupun peraturan kepala daerah. Kepala daerah antara lain harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan & berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif & efisien, konsep investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep kebijakan lainnya. Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi & misinya selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu: pangan, sandang, papan (perumahan), pendidikan, dan kesehatan. Selain itu kepala daerah harus mampu melihat suatu permasalahan secara komprehensif dan integratif, jangan sampai terjebak hanya melihat secara sektoral dan parsial, ataupun keuntungan jangka pendek.
Pilar Ketiga: Sistem
Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang kuat. Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar pelayanan, sistem pengawasan. Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif. Penerapan sistem-sistem tersebut akan mendorong terjadinya 3G (Good Government Governance), yang pada akhirnya akan menghasilkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Pilar Keempat: Investasi
Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD untuk membangun daerahnya. Mengapa ? Karena bisa dikatakan, sebagian besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk pembangunan. Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara, telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana APBD saja. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya. Setidaknya ada empat stakeholder yang harus diperhatikan kepentingannya saat kita bicara tentang investasi, yaitu pihak investor, pemerintah daerah, masyarakat, dan lingkungan. Investor tentunya berkepentingan agar dana yang dinvestasikannya menghasilkan profit yang memadai, ingin mendapatkan berbagai kemudahan dan adanya jaminan keamanan dalam berinvestasi. Pihak pemerintah daerah ingin agar pendapatan asli daerahnya (PAD) meningkat. Masyarakat berharap kesejahteraannya makin meningkat dan lapangan kerja makin terbuka. Lingkungan perlu diperhatikan agar tetap terjaga kelestariannya. Jangan sampai karena terlalu bersemangat, akhirnya secara jangka panjang terjadi pengrusakan lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan dan model investasi yang dapat menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut.
Piramida Demokrasi [Google]
Otonomi daerah sebagai perwujudan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 diharapkan mampu membawa perubahan dalam tatanan hidup masyarakat daerah. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah merupakan apresiasi akan kemampuan daerah untuk mengurus rumah tangganya. Visi dan konsep otonomi daerah yang jelas dan terarah dapat menjadi pendukung tercapainya tujuan otonomi daerah itu sendiri masyarakat daerah yang adil dan sejahtera. Pelaksanaan otonomi daerah dengan hambatan-hambatan yang ada menjadi suatu fenomena tersendiri menuju kemandirian. Dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, otonomi daerah merupakan suatu kebijakan yang ideal untuk mencapai aspek kehidupan yang merata di segala bidang. Kehidupan masyarakat daerah yang lebih baik akan terwujud apabila ada kerja sama yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah. Tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah daerah namun cita-cita bersama sulit dicapai bila tidak ada intervensi dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah tetap berusaha bertumbuh dan berkembang dengan segala kapasitas yang ada dan pemerintah pusat perlu mendukung serta memotivasi kinerja daerah agar bisa tercapai kehidupan yang lebih baik. Pada akhirnya, kebijakan otonomi daerah bermuara pada cita-cita untuk mewujudkan masyarakat daerah yang mandiri, sejahtera, makmur, dan mampu mengembangkan segala sumber daya yang ada secara berkesinambungan sambil tetap berpegang pada nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.

Senin, 20 September 2010

Seri Sejarah : PERANG SALIB

Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke 16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 sampai dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance. Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.

Situasi Di Eropa
Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slav dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada tahun 1063, Paus Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.
Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan Antioch (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.

Situasi Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslimlah yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Orthodox Timur. Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Suci (Church of The Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.
Penyebab Langsung
Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.
Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada tahun 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan Leon pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.

Perang
Perang Salib I
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul-Maqdis (15 Juli 1099 M) dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, Rajanya adalah Raymond. Selanjutnya Syeikh Imaduddin Zanki pada tahun 1144 M, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zanki. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.

Perang Salib II
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hattin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.

Perang Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard the Lionheart raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan perang Salib III. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa-saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa-melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.

Perang Salib IV
Pada tahun 1219 M, meleteus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars, Qalawun dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.

Kondisi Sesudah Perang Salib
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Orthodox Timur. Kekerasan terhadap Kristen Orthodox ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu. Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme pada Perang Salib Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa. Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Knights Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.

[Sumber: Wikipedia]