 |
Sumber: Google |
[Catatan Kecil Tentang Demokrasi Indonesia]
Pada dasarnya otonomi daerah merupakan salah satu wujud kepedulian pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pemerintah pusat lebih berorientasi pada masalah-masalah makro dan bersifat global. Urusan daerah merupakan urusan daerah itu sendiri. Di sini pemerintah pusat memberikan kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya. Adanya kepercayaan dari pemerintah pusat menunjukkan bahwa daerah tersebut bisa mandiri. Dalam arti bahwa daerah itu mampu mengatasi masalah-masalah lokal tanpa campur tangan pemerintah pusat. Kemandirian merupakan sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah pusat tidak lagi mendominasi suatu daerah. Pemerintah hanya berperan sebagai supervisor, pengawas. Pemerintah juga mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah yang bertanggung jawab itu tidak terlepas dari perpaduan antara visi yang jelas, konsep yang sesuai, dan syarat-syarat yang memadai antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berperan sebagai pelaksananya.
 |
Sumber: Google |
Visi otonomi daerah dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama yaitu politik, ekonomi, serta sosial dan budaya.Pertama, di bidang politik. Otonomi daerah harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi pemilihan kepala pemerintahan daerah yang demokratis, responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Selain itu, ada transparansi kebijakan. Otonomi daerah berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, sistem dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif serta sistem pemerintahan yang efektif.
Kedua, di bidang ekonomi. Otonomi daerah menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah dan terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mendayagunakan potensi ekonomi di daerahnya.
Ketiga, di bidang sosial budaya. Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
Dalam menuju tata pemerintahan lokal, pemerintah daerah dan masyarakat lokal harus mengubah dirinya sendiri. Pemerintah daerah merupakan elemen penting dalam kehidupan masyarakat terutama pada era desentralisasi dan harus di tranformasikan untuk mencapai tata pemerintahan lokal yang sesuai dengan tuntutan desentralisasi. Untuk mencapai tata pemerintahan lokal oleh pemerintah daerah, harus terdapat pengembangan kapasitas pemerintah daerah yang mencakup reformasi pemerintah daerah, peningkatan kemampuan organisasional dalam perumusan pengambilan kebijakan dan pelayanan publik, kondisi finansial pemerintah daerah yang stabil dan baik, dan pembangunan kapasitas dari pegawai negeri daerah. Reformasi pemerintah daerah dalam beberapa hal mengadopsi beberapa langkah berikut yaitu pemangkasan biaya, restrukturisasi, privatisasi, indikator pelaksanaan tugas, dan evaluasi kebijakan. Dalam reformasi demikian, elemen yang harus diperhatikan adalah pegawai negeri daerah dan masyarakat lokal. Pengembangan kapasitas dua element tersebut sangat menentukan dalam berfungsinya tata pemerintahan lokal. Demi mencapai pengembangan kapasitas mereka, harus diberikan kesempatan untuk berpastisipasi dalam skema kemitraan di tata pemerintahan lokal.
Satu peristiwa paling dramatis di akhir abad 21 adalah pergerakan Indonesia menuju demokratisasi. Perubahan dan transisi terjadi dimana-mana di seluruh penjuru negeri, tidak dapat dipungkiri bahwa kelahiran demokrasi di Indonesia membawa cerita yang tidak selalu manis. Namun demikian, keterbukaan politik yang dirasakan belakangan ini, pertumbuhan civil society, kebebasan media dan tuntutan akuntabilitas pemerintah telah menjadi warna demokrasi Indonesia. Saat ini semua kalangan masyarakat sudah menjadi partner dan stakeholder dalam demokratisasi Indonesia. Pilkada sebagaimana diketahui bersama merupakan bentukan dari proses desentralisasi di Indonesia dengan dasar hukum UU No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Sejak 2001, Indonesia memulai kembali proses desentralisasi yang terhenti sejak digagas pertama kali tahun 1933 oleh Hatta dalam tulisannya “Otonomi dan Sentralisasi dalam Partai” dan selama tujuh tahun ini kebijakan desentralisasi memberikan banyak warna terhadap perjalanan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Proses desentralisasi itu sendiri merupakan proses yang sangat penting dan menentukan masa depan Indonesia; Keberhasilan dan kegagalan kebijakan ini akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama kehidupan demokrasi di Indonesia. Demokrasi menurut Diamond harus dipandang sebagai fenomena yang berkelanjutan (Diamond: 1999). Dipandang dari perspektif ini, masa depan demokrasi adalah adalah tiada henti; elemen-elemen demokrasi akan muncul dan berkembang dalam berbagai tingkatan dan tahapan dengan tingkat kecepatan yang berbeda-beda di setiap negara. Perubahan demokrasi juga bergerak menuju arah yang berbeda, bisa menjadi semakin demokratik dan bisa juga semakin tidak demokratik. Oleh karena itulah demokrasi harus selalu diperkuat baik dengan penguatan institusi maupun penguatan civil society. Desentralisasi bukan hanya persoalan pengaturan hubungan antar berbagai tingkatan pemerintahan namun juga merupakan persoalan mengenai hubungan antara negara dan rakyatnya. Kebijakan desentralisasi bukanlah tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah semata namun juga merupakan tanggung jawab masyarakat lokal sebagai pihak yang memiliki hak utama dalam penyelenggaraan kehidupan lokal. Hal ini akan tercapai melalui lembaga perwakilan masyarakat lokal dalam wadah yang DPRD melalui proses pemilu yang bebas.
Kebijakan pemberlakuan otonomi membuat setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang diselenggarakan sejak tahun 2005, membuat kepala daerah terpilih mendapat legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD. Pada waktu sekarang ini sebagai ciri demokrasi ialah bahwa tiap-tiap keputusannya selalu bersandarkan atas dasar kelebihan suara. Golongan besar memperoleh suara terbanyak, sedangkan golongan kecil menderita kekalahan. Indonesia pertama kali melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih para wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Tentunya kepala daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat. Tetapi harapan tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Kekuatan visi & kompetensi kepala daerah terpilih menjadi salah satu penentu, di samping faktor-faktor lain. Tantangan terberat bagi kepala daerah terpilih adalah melaksanakan visi, misi, dan janji-janji semasa kampanye, yang hampir semuanya pasti baik.
Setidaknya ada empat hal yang harus dimiliki dan disiapkan oleh birokrasi di daerah dalam melaksanakan pemerintahan daerah yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Empat hal itulah yang disebut dengan 4 Pilar Pembangunan. Disebut empat pilar pembangunan karena dengan 4 hal ini diharapkan agar para birokrat dapat menjalankan perannya dalam membangun daerahnya sehingga bisa optimal.
Pilar Pertama: Sumber Daya Manusia (SDM)
Mengapa SDM ? Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan penentu. SDM seperti apa yang diperlukan ? Yaitu SDM yang memiliki: moral yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan manajerial (managerial skill), dan kemampuan teknis (technical skill). Sebuah daerah yang maju perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi tersebut, diberbagai level jabatan & fungsinya. Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Saat ini tuntutan penerapan 3G (Good Government Governance) terus-menerus digaungkan oleh berbagai pihak. Penerapan prinsip-prinsip transparansi & akuntabilitas tanpa didukung oleh aparat yang bermoral baik, pada akhirnya hanya akan berhenti di tingkat wacana saja. Moral yang baik belumlah cukup, tapi juga harus diimbangi dengan kompetensi. Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus menjadi perhatian. Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif & cepat tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.
Pilar Kedua: Kebijakan
Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada berbagai stakeholder, terutama kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan tersebut akan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) maupun peraturan kepala daerah. Kepala daerah antara lain harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan & berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif & efisien, konsep investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep kebijakan lainnya. Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi & misinya selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu: pangan, sandang, papan (perumahan), pendidikan, dan kesehatan. Selain itu kepala daerah harus mampu melihat suatu permasalahan secara komprehensif dan integratif, jangan sampai terjebak hanya melihat secara sektoral dan parsial, ataupun keuntungan jangka pendek.
Pilar Ketiga: Sistem
Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang kuat. Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar pelayanan, sistem pengawasan. Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif. Penerapan sistem-sistem tersebut akan mendorong terjadinya 3G (Good Government Governance), yang pada akhirnya akan menghasilkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Pilar Keempat: Investasi
Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD untuk membangun daerahnya. Mengapa ? Karena bisa dikatakan, sebagian besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk pembangunan. Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara, telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana APBD saja. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya. Setidaknya ada empat stakeholder yang harus diperhatikan kepentingannya saat kita bicara tentang investasi, yaitu pihak investor, pemerintah daerah, masyarakat, dan lingkungan. Investor tentunya berkepentingan agar dana yang dinvestasikannya menghasilkan profit yang memadai, ingin mendapatkan berbagai kemudahan dan adanya jaminan keamanan dalam berinvestasi. Pihak pemerintah daerah ingin agar pendapatan asli daerahnya (PAD) meningkat. Masyarakat berharap kesejahteraannya makin meningkat dan lapangan kerja makin terbuka. Lingkungan perlu diperhatikan agar tetap terjaga kelestariannya. Jangan sampai karena terlalu bersemangat, akhirnya secara jangka panjang terjadi pengrusakan lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan dan model investasi yang dapat menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut.
 |
Piramida Demokrasi [Google] |
|
Otonomi daerah sebagai perwujudan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 diharapkan mampu membawa perubahan dalam tatanan hidup masyarakat daerah. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah merupakan apresiasi akan kemampuan daerah untuk mengurus rumah tangganya. Visi dan konsep otonomi daerah yang jelas dan terarah dapat menjadi pendukung tercapainya tujuan otonomi daerah itu sendiri masyarakat daerah yang adil dan sejahtera. Pelaksanaan otonomi daerah dengan hambatan-hambatan yang ada menjadi suatu fenomena tersendiri menuju kemandirian. Dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, otonomi daerah merupakan suatu kebijakan yang ideal untuk mencapai aspek kehidupan yang merata di segala bidang. Kehidupan masyarakat daerah yang lebih baik akan terwujud apabila ada kerja sama yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah. Tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah daerah namun cita-cita bersama sulit dicapai bila tidak ada intervensi dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah tetap berusaha bertumbuh dan berkembang dengan segala kapasitas yang ada dan pemerintah pusat perlu mendukung serta memotivasi kinerja daerah agar bisa tercapai kehidupan yang lebih baik. Pada akhirnya, kebijakan otonomi daerah bermuara pada cita-cita untuk mewujudkan masyarakat daerah yang mandiri, sejahtera, makmur, dan mampu mengembangkan segala sumber daya yang ada secara berkesinambungan sambil tetap berpegang pada nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.