Senin, 20 September 2010

Seri Sejarah : PERANG SALIB

Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke 16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 sampai dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance. Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.

Situasi Di Eropa
Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slav dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada tahun 1063, Paus Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.
Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan Antioch (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.

Situasi Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslimlah yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Orthodox Timur. Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Suci (Church of The Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.
Penyebab Langsung
Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.
Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada tahun 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan Leon pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.

Perang
Perang Salib I
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul-Maqdis (15 Juli 1099 M) dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, Rajanya adalah Raymond. Selanjutnya Syeikh Imaduddin Zanki pada tahun 1144 M, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zanki. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.

Perang Salib II
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hattin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.

Perang Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard the Lionheart raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan perang Salib III. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa-saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa-melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.

Perang Salib IV
Pada tahun 1219 M, meleteus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars, Qalawun dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.

Kondisi Sesudah Perang Salib
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Orthodox Timur. Kekerasan terhadap Kristen Orthodox ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu. Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme pada Perang Salib Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa. Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Knights Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.

[Sumber: Wikipedia]

Rabu, 15 September 2010

Kisah Cintaku…[3]


[Menyambut HUT Seminari Mataloko ke-81 pada 15 September 2010]
Selamat Ulang Tahun, Ad Multos Annos !!
Saya mencoba mengingat satu persatu. Dalam kepala mulai terbayang wajah para sahabat selama saya bersekolah di tempat kecintaan kami. Seminari Mataloko. Saat itu persiapan Ujian Akhir sedang dilakukan. Kami semua belajar, terus belajar dan tetap belajar. Hanya ada kata belajar dan seolah-olah itu sudah menghipnotis kami untuk tetap belajar. Sebenarnya kesadaran tentang belajar menjadi sebuah kesadaran alami bagi kami ketika mulai menjadi seminaris. Seorang seminaris harus pandai. Harus mampu menggunakan talenta, akal budinya untuk menjadi yang terbaik. Kata menjadi yang terbaik seolah-olah mengharuskan kami untuk tetap belajar. Banyak turunan kegiatan yang mesti kami lakukan ketika kami sudah masuk di seminari. Dan belajar merupakan sebuah hal umum diantara kekhususan lain yang mesti kami hadapi. Seminaris menyukai pesta, pesta apa saja. Tentu saja ada beberapa jenis pesta yang telah mentradisi di seminari Mataloko. Untuk kalangan seminaris, ada pesta meja, pesta kelas, pesta anggota taman, pesta anggota seksi di kepengurusan OSIS, serta pesta-pesta lainnya. Secara umum yang ditunggu-tunggu adalah yang dilaksanakan pada hari ini, yaitu Pesta Keluarga. Pesta keluarga atau Pesta Family merupakan pesta yang ditunggu-tunggu oleh seminaris dan semua anggota keluarga besarnya. Pesfam atau Pesta Family dirayakan untuk mengenang hari jadi seminari Mataloko yang selalu dirayakan pada setiap tahun di tanggal 15 September .
Sebulan menjelang pesta, selalu diadakan ritus tahunan untuk memulai rangkaian penyambutan pesta dengan kegiatan perlombaan dan pertandingan antar 4 kelompok besar siswa yang tergabung dari SMP dan SMA. Pertandingan yang diikut sertakan antara lain basket, sepak bola, bola volli, tenis meja, bulu tangkis, serta lomba atletik. Sedangkan perlombaan lainnya meliputi paduan suara, lomba menulis, lomba pidato, lomba kesenian dan lomba lainnya. Semuanya bersukaria. Senang dan siap menyambut pesta dengan segenap jiwa. Pembukaan lomba selalu dimulai dengan berlari seputaran rute yang telah ditetapkan. Mulai dari lapangan bola, keluar melalui lorong antara kamar makan dan tempat cuci SMA berlanjut sampai keluar di gerbang SMA. Kemudian belok kanan menuju pertigaan ke Were. Sepanjang jalan menuju ke pertigaan Were, merupakan rute yang cukup favorit selain rute sesungguhnya yang menjadi favorit anak seminari. Setelah belok kiri menuju jalan ke Were, rute menjadi lebih mengasyikan karena melewati rumah-rumah penduduk. Sebelum rute pulang, kami melewati rute favorit kami para seminaris. Melewati sepanjang asrama Kartini. Ada saja moment yang diabadikan oleh seminaris. Tentu saja, tukang jual tampang selalu beraksi jika ada kesempatan. Kalaupun kesempatan itu tidak kunjung dating, ada-ada saja trik yang dilakukan. Yang sering adalah pura-pura mengencangkan kembali tali sepatu dengan cara berdiam diri di tempat yang dirasa pas untuk jual tampang sejenak ketika yang lain sedang melanjutkan larinya. Semua kegiatan lari akhirnya berhenti dan berakhir dengan dilkukan apel sejenak yang dipimpin oleh praeses sebagai simbolisasi pembukaan kegiatan.
Hari ini, hari yang selalu dinanti. Tanggal 15 September telah tiba. Selain akan berpesta, ada motivasi lain yang kuat tertanam. Yaitu untuk makan enak dan bias berjoget sampai pagi. Yang akan sibuk sekali adalah seksi kamar makan, seksi sanggar dan tentu saja kerohanian dan sound system. Misa selalu memulai rangkaian itu. Kami semua terlarut dalam suka karena menjadi bagian dari sejarah panjang seminari tercinta kami. Kami terlahir dan menjadi remah-remah dalam proses pengembangan diri menjadi calon pastor. Semua syukur diberikan rahmat untuk segala perjalanan panjang seminari. Kami bersukaria, kami menikmatinya. Tentu saja yang tidak kami lewatkan nanti malam. Makan enak dan Joget.

[Tamat]

Kamis, 09 September 2010

Kisah Cintaku…[2]


[Menyambut HUT Seminari Mataloko ke-81 pada 15 September 2010]

Kelas 3 SMA Tahun 2005
Saat itu waktu menunjukkan tepat pukul 2.45 WITA [saya lupa harinya]. Namun kegaduhan sudah terjadi di sekitaran kamar barang kelas 3 SMA. Seharusnya jam tidur siang setelah makan siang, ternyata banyak dari antara rekan kelas 3 yang tidak menggunakan kesempatan itu. Hanya sedikit yang menggunakan waktu tidur selama satu jam dengan efektif mungkin. Ada yang sudah tidak sabaran menunggu lonceng dibunyikan oleh petugas waktu. Lonceng merupakan teman setia kami. Setia memberitahukan kapan saatnya tiba dan hal yang harus kami lakukan. Semuanya tanpa perlu melihat kembali jadwal, kami sudah sangat hafal kegiatan keseharian kami. Sejak bangun pagi hingga saatnya kembali ke peraduan kami nanti malam. Semuanya sangat seragam dan terkesan tanpa variasi. Variasi yang lumayan menyenangkan kami adalah siang yang sangat kami nanti-nantikan. Teman-teman kelas 3 menempati area bagian barat dari kamar tidur asrama SMA. Siang itu, ada saja kegiatan lain yang dilakukan. Mulai dengan berkeliling kamar tidur untuk meminjam sepatu bola, ada yang membersihkan sepatu bola, mencari baju bola terbaik yang dia punyai, meminjam kepunyaan teman dan adik kelas. Semuanya dilakukan saat jam tidur siang dan dilakukan apabila tidak ada Pembina yang mengontrol. Memang semuanya terkesan pengecut, tapi itulah kebiasaan seminaris. Tanpa ada kontrol Pembina kami Berjaya. Kami akan sangat taat kepada aturan ketika ada kontrol langsung, namun akan sangat lepas kendali apabila perfek atau pembantu perfek melupakan kewabijan kontrol mereka. Walau hanya sebentar.
Hari ini, jadwal yang dibagi menunjukkan kalau kelas 3 SMA mendapatkan jatah berolahraga. Saatnya bermain sepakbola. Anak seminari terkenal dengan istilah-istilahnya yang kadang aneh dan terkesan sembarangan bahkan ngawur. Tapi ungkapan itulah yang selalu kami gunakan. Kami senang menggunakannya dan sangat bahagia untuk itu. Misalnya tu’a dan waja [adopsi dari bahasa daerah setempat] ini khusus bagi teman-teman yang selalu kuda kayu. Nah istilah ini selalu merujuk kepada teman yang tidak pernah merasa sakit sekalipun terkena benturan keras saat bermain bola. Entah sakit benaran atau hanya menutupi saya sendiripun tidak mengetahuinya, hanya saja minya gosok selalu menemani kala selesai bermain bola. Kadang tu’a tidak mujarab di lapangan bola. Ada lagi penggunaan istilah abang yang merujuk kepada orang yang paling. Pokoknya paling apa saja. Abang ngama [tukang cerita yang hampir semuanya hiperbolis], Abang Pole [Berlaku didalam lapangan bola bagi mereka yang selalu menggocek bola tanpa henti], Abang bolos [Sudah pasti tukang bolos], Abang Ozon [Yang selalu kentut], Abang bon [selalu berpindah dari meja ke meja untuk meminta lauk di meja teman lain], Abang nampang [yang suka jual tampang] dan masih banyak abang-abang lainnya. Dilapangan bola, tentu saja berlaku dua istilah yaitu waja [tu’a] dan Abang pole. Itu istilah turun temurun yang apabila diruntut kembali asal muasalnya akan menemukan siapakah dalang dibalik semua istilah itu. Kami adalah native speaker untuk istilah-istilah itu. Dilapangan bola sudah terbagi 2 kelompok besar. Kelompok SVD dan Projo. Ordo-ordo lain semisal SMM, Karmel, OFM, dsb mengikuti kedua kelompok besar tersebut. Semuanya dibagi berdasarkan pilihan ordo atau biara yang akan dimasuki setelah tamat dari SMA Seminari. Saya masuk di kelompok Projo, karena saya termasuk yang sangat mencintai menjadi imam diosesan. Kami bermain dengan tensi tinggi, dengan segala upaya agar menang. Hal yang lumrah ketika emosi yang tak terkontrol juga turut masuk didalam permainan itu. Harus diakui bahwa Kelompok Projo Cs selalu menang dilapangan. Kami bermain dengan segala daya upaya yang kami bisa, semuanya agar bisa menjadi yang terbaik. Pelajaran moral bagi kami adalah kompetisi secara fair demi sebuah tujuan yang mulia sangat diizinkan dalam hidup ini. Sehingga membentuk kami untuk menyandang predikat yang selalu kami sebut. Kami berusaha dalam hal positif menjadi abang-abang bagi diri kami dan sesama kami. Menjadi yang paling, menjadi yang bisa, menjadi yang mampu dengan kelebihan yang kami punyai. Kami menanam kebaikan dan menerima segalanya sebagai teman hidup. Teman kami sepanjang masa. Itu pelajaran dari permainan bola yang bukan 11 vs 11, tapi banyak vs banyak. Saya lupa berapa jumlah pastinya. Saya sangat bangga beberapa teman seangkatan sudah berhasil dan sedang meretas karir kesuksesan. Tentu saja dalam hal panggilan imamat suci maupun panggilan untuk berkarya sebagai yang bukan imam. Kami saling mencintai dalam kebisuan kami dan saling menyayangi dalam diam kami. Kami saling mendukung sebagai satu bagian yang lahir dari rahim Seminari Mataloko. Tempat kebanggaan kami hingga kapanpun dan dimanapun.
Setelah bermandikan keringat dan pelu yang bercucuran, lonceng tanda selesai permainan berbunyi keras. Tapi kadang kami cuek untuk melanjutkan permainan. Toh waktu mandi masih panjang. Kalau terlambat pun, bisa mandi setelah istirahat belajar jam 5 sore nantinya. Semuanya bisa disiasati. Perlu perhitungan yang matang dan cermat, karena jika tidak maka risiko ketahuan Pembina bisa saja terjadi. Akibatnya fatal, jadi jangan mencoba apabila belum terbiasa. Aturannya adalah jam mandi maka kita mandi, jam belajar kita belajar, jam istirahat kita istirahat. Istirahat bukan mandi dan mandi juga tentu saja bukan istirahat. Logis. Tapi semuanya bisa berubah bagi kepala kami. Namun dengan catatan tindakan kami tidak diketahui oleh Pembina. Kami menyudahi pertandingan bola dengan kebahagiaan apabila menang, namun ada yang dongkol jika kalah. Keributan kecil seringkali terjadi, sekedar melepas ketidakpuasan di lapangan bola tadi. Letupan kecil itu tidak terlalu berbahaya karena kami sadar bahwa berkelahi juga bukan merupakan perbuatan terpuji. Hukumannya bisa berlutut sepanjang hari atau akan berakrab ria dengan kotoran hewan yang harus diangkat sebagai pupuk dengan ditaburkan di taman-taman bunga. Itu bisa berlangsung selama seminggu penuh. Tanpa henti. Pada jam tidur siang lagi. Ini merupakan hukuman yang mematikan, perlahan tapi pasti dan tentunya kadar siksaannya lebih dari sekedar sakit.
Suasana Belajar Sore
Setelah mandi, kelaslah tujuan kami. Kami belajar, membaca, menulis, menyalin, pokoknya apapun yang penting namanya belajar mandiri. Kegaduhan merupakan sebuah tindakan haram selama jam pelajaran. Kami belajar dengan cara kami masing-masing, dengan daya tangkap kami sendiri-sendiri. Kami belajar mandiri, belajar menjadi diri sendiri, belajar berguna bagi diri dan sesama. Itulah esensi belajar mandiri. Belajar mandiri bagi kami ada berbagai macam variannya. Menulis formasi sepakbola klub-klub elit Eropa, membaca novel, menulis kata ilmiah, dsbnya. Kami menjadi demikian tidak terkendali apabila tidak ada Pembina. Diskusi yang terjadi hanyalah hal-hal remeh-temeh diluaran disiplin ilmu yang harus kami pelajari. Bagi kami itulah esensi belajar tanpa pengekangan. Biarkan kami yang belajar, waktu hanyalah teman yang membantu kami menemukan jati diri. Kira-kira demikian kami memaknai esensi waktu belajar. Sangat bertolak belakang dengan keinginan para Pembina yang menerapkan standarisasi pendidikan seminari yang berkualitas tinggi dan mumpuni.
Jam belajar mandiri diakhiri dengan waktu istirahat. Yang selalu digunakan untuk ke kamar mandi, Toilet, dapur, kamar makan, koperasi, tempat jemuran, sambil menunggu peluit panjang untuk masuk kembali ke kelas. Jam belajar ke-2 adalah belajar bersama. Bisa diskusi atau apapun, tapi diizinkan untuk belajar bersama. Konsekuensinya adalah kegaduhan yang luar biasa. Semuanya dilakukan atas nama diskusi kelompok. Kejahatan yang seringkali muncul adalah bermain kartu, catur, domino, monopoli, dan banyak macam permainan ciptaan kami. Ketika di SMP kami menciptakan sepakbola kaus kaki dan sepakbola kertas. Ada-ada saja, tapi itulah hiburan bagi kami. Para seminaris kala itu.


[bersambung]

Rabu, 08 September 2010

Kisah Cintaku…[1]


Gerbang SMP Seminari
[Menyambut HUT Seminari Yang Ke-81 pada 15 September 2010]
Enam tahun saya menjalin cinta. Dengan belajar dan menjadi bagian yang tak terpisahkan, perlahan tapi pasti perasaan cinta terhadapnya semakin menjalar hingga ke nurani yang paling dalam. Bersama teman-teman, perasaan cinta itu terus terpatri [menurut pengakuan teman-teman]. Kami datang dengan segala kepolosan pikiran dan siap diisi dengan segala bentuk pengajaran yang akan kami hadapi. Kami pasrah, berserah semuanya  kepada Tuhan. Karena memang kami datang untuk Dia, untuk Tuhan kami berkumpul dan menjadi satu dalam namaNya. Di tempat ini, segala rasa dan asa menjadi satu. Menjadi kekasih jiwa. Menjadikannya tak tergantikan. Kami siap ditempa menjadi imam, menjadi pastor ataupun pater, atau kalau tidak kesampaian cukup menjadi seminaris saja. Tidak perlu muluk cita-cita itu karena kami sadar menjadi imam tidak mudah. Perlu menaiki beragam anak tangga dengan masing-masing memberikan bobot kualitas yang tentu saja sangat tinggi. Yang tidak memenuhi criteria akan dengan sendirinya tercerabut dari akar pangkuan almamater. Almamater memberikan segala kemudahan bagi kami, tapi tidak dengan nilai kedisiplinan. Hal ini merupakan satu hal yang tidak ada toleransinya. Kedisiplinan menjadi motor sekaligus  tameng bagi kami yang hendak memiliki kemajuan dalam visi dan cara pandang terhadap hidup.
Seminari Mataloko, demikian nama tempat yang telah membentuk kami. Memberikan segala yang kami punyai saat ini, hingga kini dan tentu saja bekal itu untuk masa depan kami. Dalam keraguan saya akan ketepatan ingatan, saya mencoba mengingat setiap detik yang pernah kami lalui. Ketika itu, waktu menunjukkan pukul 4.45 WITA terdengar lonceng yang sangat sangar membangunkan kami. Yang belum terbiasa akan sangat tersiksa. Semuanya seperti neraka di tempat dingin. Kabut yang tebal dan dinginnya air membuat kami semua cukup tertegun untuk melangkahkan kaki menuju ke kamar mandi. Antara mandi dan hanya cuci muka, pasti semuanya memilih cuci muka. Maklum, bagi yang tidak terbiasa akan menemukan penderaan yang bertubi-tubi ketika mencoba menyiram tubuh dengan air yang sedingin es itu. Selanjutnya derap langkah kaki-kaki kecil seminaris berarak menuju kapela. Berdoa pagi selama 15 menit denga acuan buku kondang ‘Tuhanlah Gembalaku dan Bapa Kami’ kami bersujud penuh khidmat di depan altar Tuhan [Ada juga yang tidak, mungkin masih ngantuk, kedinginan, dsb.]. Selanjutnya misa pagi dan mengerjakan meditasi tertulis. Tentang misa pagi, waktu normalnya sekitar 30 menit. Namun juga tergantung dari siapa pemimpin ibadat tersebut. Kadang misa pagi bisa dalam waktu yang sangat singkat, bahkan bisa-bisa saking lamanya sampai semuanya bosan. Ini kenyataan, bahwa waktu mempengaruhi semuanya. Ketika kuliah, saya baru menyadari arti pentingnya meditasi tertulis. Selain sebagai refleksi diri, juga melatih daya nalar dan kekritisan. Dimulai dengan menyimak Kitab Suci, hingga terbangunlah pola daya nalar terhadap apapun yang kita lihat dan temukan. Walaupun kebiasaan malas mengerjakan meditasi di kelas 3 SMA sangat tinggi, tetapi tidak jadi masalah walaupun meditasi dikumpulkan pada jam 2 siang. Yang penting belum diperiksa oleh bapak asrama. Kebiasaan ini kalau boleh jujur, dilakukan oleh hampir sebagian besar kelas 3 SMA. Mereka yang telah berani menyebut dirinya dengan sebutan confrater.
Makan. Kata ini hanya terdengar merdu ketika hari selasa, jumat dan minggu karena ada Lauk. Itupun hanya siang hari. Hari minggu bisa malam apabila siangnya semuanya menikmati minggu pesiar setiap minggu ke 1 dan 3. Menu andalan restoran ini hanya nasi dan sayur. Tidak ada menu lain. Apalagi mengharapkan pilihan lain yang kelihatan higienis dan kesan lezat. Semuanya seperti mimpi. Kami, para seminaris selama 6 tahun menekuni sarapan nasi dan sayur. Itu saja, tidak ada komentar, tidak ada keluhan yang berarti. Semuanya menyimpannya dan membungkus rapi setiap protes terkait makanan dalam hati masing-masing. Kalaupun ada ikannya [lauk] itu juga tidak merdeka menikmatinya. Semuanya diproses dengan membagi rata untuk kira-kira 30 meja makan dengan jumlah anggota bervariasi antara 6 hingga 7 orang setiap meja makannya. Dan alhasil jika lauk yang dibagi ikan teri, mungkin seorang mendapatkan 7 ekor ikan teri [bayangkan betapa kecilnya ikan itu], jika telur jangan mengharapkan satu butir utuh. Jika dapat, bersyukurlah karena paling banyak setengah. Itupun dengan teknik pembagian yang membutuhkan kecermatan tingkat tinggi. Maklum, jika salah bagi bisa-bisa telur itu menjadi sumber malapetaka. Tapi selama di sana, pertumpahan darah karena makan jarang terjadi. Biasanya yang menjadi pembagi lauk adalah orang yang sudah telaten membagi untuk ratusan orang dalam sebuah kamar makan. Saya secara pribadi jarang menjadi pembagi lauk, selain susah menakar, lebih baik menjadi pembagi nasi atau air dalam tugas dekers yang sudah ditetapkan oleh ketua kamar makan.
Difoto dari Kemah Tabor
Suasana selanjutnya yang sangat penting adalah berada dalam kelas. Inilah esensi sesungguhnya dari proses pembelajaran yang ada di seminari. Matapelajaran dasar seperti Bahasa Latin, Kitab Suci, dan mata pelajaran lainnya yang khusus selalu menjadi dasar bagi kami, para calon pastor. Disamping mata pelajaran nasional seperti yang didapatkan juga di sekolah-sekolah lain di seantero Indonesia. Proses pendidikan disini selalu menerapkan standar tinggi. Sejak kelas I SMP standar kenaikan kelas harus 6,5 dengan catatan jangan ada nilai 5 untuk mata pelajaran pilihan atau unggulan. Tidak ada namanya toleransi bagi yang tidak memenuhi standar itu. Seingat saya, angkatan kami berjumlah 116 orang ketika masuk SMP di tahun 1999 namun akhirnya hanya 36 ketika menamatkan di SMA. Jumlah itu bertambah menjadi sekitar 55 orang ketika harus bergabung dengan teman-teman dari kelas persiapan. Nilai rata-rata itu akhirnya menjadi 7,0 agar bisa tetap menjadi seminaris dan akhirnya tamat. Beruntung, bersama beberapa kawan kami bisa meloloskan diri dari aturan dan standar tinggi pendidikan di seminari. Istilah cedok berlaku untuk teman-teman yang dikeluarkan karena tidak memenuhi criteria tadi. Artinya, sesegera mungkin meninggalkan almamater dan silahkan mencari sekolah yang baru. Tempat di Seminari telah tertutup rapat. Kegiatan ekstrakurikuler favorit para seminaris adalah sepakbola, musik, basket, voli, tenis meja, teater, paduan suara,seni lukis  dan berbagai macam kegiatan penggalian minat dan bakat. Semuanya menunjukkan hasil yang positif dan benar-benar pengembangan diri menjadi salah satu bukti bahwa talenta jangan dikuburkan tetapi digunakan agar bermanfaat. Pendidikan bahasa Inggris menjadi salah satu favorit kami, karena dibimbing oleh seorang guru yang bagi saya terhebat di Indonesia dan selevel dengan penutur asli bahasa inggris. Father Nani, demikian kami selalu memanggil beliau. Ditangannya kami tumbuh menjadi anak muda yang harus kreatif dalam belajar. Dalam asuhannya, bahasa inggris menjadi demikian mudahnya, sangat terjangkau untuk kami yang perlu berkenalan jauh dengan bahasanya orang inggris tersebut. Ada juga Romo Alex [Maaf Romo,,tapi sapaan untuk Romo dari kami Rolex], nilai bahasa Indonesia kami tidak lebih dari 6. Bahkan untuk yang paling cerdas sekalipun. Rahasianya hanya Romo Alex yang tahu, saya juga tidak sempat menanyakannya dahulu. Romo Beni Lalo, perfek kami yang sangat kami segani. Dalam diamnya kami belajar untuk selalu taat dan disiplin. Beliau juga punya tangan yang maut, beberapa teman pernah merasakannya. Romo Nani selalu ‘menghajar’ kami dengan selang. Memang sakit, tapi kami selalu menciptakan suasana yang akhirnya selang mendarat di kaki atau badan kami. Terkadang kami cukup naïf untuk menerima pukulan itu, tapi itulah anak asrama. Jika tidak ribut saat belajar, pasti karena terlambat. Itu merupakan kesalahan-kesalahan primer seminaris, dan hukumannya apabila bukan refleksi 4 halaman, pasti berlutut dan siap-siaplah menerima selang maut. Ada pula Romo Domi Balo, beliau merupakan imam tua yang mengasuh kami dengan pelajaran bahasa Latin. Pelajaran bahasa Latin tak ubahnya dengan tidak ada pelajaran. Beliau mengajar di depan, kami membaca novel di tempat duduk kami masing-masing. Antisipasinya adalah kami selalu siap menterjemahkan bahasa latin sesuai nomor urut kami nanti. Selebihnya kami tidak pernah mendengarnya, bahkan ada yang melanjutkan permainan kartu dan catur dalam kelas. Romo Domi bermata rabun, dan terlalu uzur dalam menghadapi kenakalan anak asrama yang [tidak tahu diri]. Roki, demikian panggilan diam-diam kami kepada Romo Kristo Betu. Penampilannya yang selalu ‘isi dalam’ mengharuskan setiap seminaris harus tampil rapi dan necis. Beliau terkenal dengan terror mautnya kepada kami. Sampai ketika akan menempuh UAN SMA, kami sekelas pernah merasakan saat-saat akhir terror maut Roki kepada kami. Namun kami sangat menyayangi Romo Kristo, dibalik pembawaannya yang kalem, kami seringkali tertawa dan terhibur dengan candanya yang bagi kami sangat lucu. Namun ditanggapi dingin oleh beliau. Kami merindukan suasana humor sebagai pelarian terhadap jam makan yang selalu menyiksa. Bagi kami, Pater Engels adalah segalanya. Di tangan beliau, serumit apapun sakit kami pasti sembuh. Tangannya sangat manjur dan selalu melayani kami di Poliklinik seminari. Pater Engels sudah tua, mungkin saat ini usianya sudah 90 tahun, tapi dibalik kerentaannya terlihat semangat pengabdian tanpa batas kepada kami para seminaris. Kami merindukan sentuhan pater ketika sakit gigi, pilek, demam, malaria, flu, penyakit kulit [jamur] dan sebagainya. Akhirnya, Kepala sekolah kami terkesan sangat elegan. Pembawaan yang tenang dan jarang buka suara membuat kami ‘agak takut’ dengan Romo Idrus. Romo Idrus demikian nama beliau merupakan kepala sekolah kami. Beliau jarang marah, apalagi memukul kami. Hal ini berbeda ketika menyaksikan romo bermain volli, kami jatuh cinta terhadap smash-smash keras dan mematikannya. Hal itu menjadi bahan pembicaraan kami ketika bercerita tentang kehebatan Romo ketika bermain Volli.
Setelah UAN 2005
Saat indah lainnya adalah ketika berada di lapangan sepakbola, basket dan voli. Ataupun di lapangan kecil di samping bak lompat jauh untuk sebuah permainan bola kecil-kecilan yang kami namai liga. Liga biasanya dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki tugas kerja pos. Ada beberapa teman yang saking senangnya liga dan menunjukkan ‘kewajaannya’ dengan tetap menendang bola sampai harus masuk ke semak-semak belukar yang banyak durinya. Tingkat kebanggaannya sangat tinggi dan mereka senang dengan predikat ‘waja’ [dalam bahasa Bajawa dan kami artikan sebagai orang yang kuat]. Bersama beberapa teman kami senang bermain drama, membaca puisi, dan sangat mendalami teater. Teater KATA merupakan bentukan kami dengan dipandu mentor kami yang bertangan dingin yaitu para frater TOP dan tentu saja Guru bahasa Indonesia kami, Romo Alex. Kelas 3 SMA merupakan tingkatan tertinggi di seminari. Berada di posisi ini terasa sangat agung sekali. Kami seringkali angkuh dan sombong, dengan catatan maklum sebentar lagi frater. Kami juga santa-santai saja apabila melakukan tindakan indisipliner, toh tidak ada yang berani melarang kami. Kecuali para Pembina.
[bersambung]

Senin, 06 September 2010

Flores [Dari Nusa Bunga Untuk Nusantara]

Pulau Flores (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Flores)

Flores, dari bahasa Portugis yang berarti "bunga" berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Penduduk di Flores, di tahun 2007, mencapai 1,6 juta jiwa. Puncak tertinggi adalah Gunung Ranakah (2350m) yang merupakan gunung tertinggi kedua di Nusa Tenggara Timur, sesudah Gunung Mutis, 2427m di Timor Barat. Pulau Flores bersama Pulau Timor, Pulau Sumba dan Kepulauan Alor merupakan empat pulau besar di Provinsi NTT yang merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan 566 pulau. Flores, dengan luas, jumlah penduduk dan sumber daya baik alam maupun manusia yang dinilai cukup memadai, kini tengah mempersiapkan diri menjadi sebuah provinsi pemekaran di NTT. Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di sebelah timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara dan Solor, sedangkan di sebelah barat ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca. Sebelah barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil itu ada pulau Sumbawa (NTB), sedangkan di sebelah timur setelah gugusan pulau-pulau kecil itu ada kepulauan Alor.Di sebelah tenggara ada pulau Timor. Di sebelah barat daya ada pulau Sumba, di sebelah selatan ada laut Sawu, sebelah utara, di seberang Laut Flores ada Sulawesi. Suku bangsa Flores adalah merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor, yang pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.
Flores adalah bagian dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini dibagi menjadi delapan kabupaten; dari barat ke timur sebagai berikut: Manggarai Barat dengan ibukota Labuan Bajo, Manggarai dengan ibukota Ruteng, Manggarai Timur dengan ibukota Borong, Ngada dengan ibukota Bajawa, Nagekeo dengan ibukota Mbay, Ende dengan ibukota Ende, Sikka dengan ibukota Maumere, dan Flores Timur dengan ibukota Larantuka. Flores memiliki beberapa gunung berapi aktif dan tidur, termasuk Egon, Ilimuda, Lereboleng, dan Lewotobi. Flores juga memiliki satu dari sekian satwa langka dan dilindungi di dunia yakni Varanus komodoensis atau lebih dikenal dengan Biawak raksasa. Raptil ini hidup di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, keduanya terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Flores Barat. Selain Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo, Flores juga memiliki satu Taman Nasional lagi yang terletak di Kabupaten Ende, yakni Taman Nasional Kelimutu. Daya tarik utama Taman Nasional Kelimutu adalah Danau Tiga Warna-nya yang selalu berubah warna air danaunya. Akan tetapi sesungguhnya di dalam Kawasan Taman Nasional Kelimutu itu tumbuh dan berkembang secara alami berbagai jenis spesies tumbuhan dan lumut. Oleh karena itu di awal tahun 2007, pihak pengelola Taman Nasional Kelimutu melai mengadakan identifikasi terhadap kekayaan hayati TN Kelimutu untuk kemudian dikembangkan menjadi Kebun Raya Kelimutu. Jadi, nantinya para wisatawan yang datang ke Kawasan Wisata Alam Kelimutu, selain dapat menikmati keajaiban Danau Tiga Warna, juga dapat mengamati keanekaragaman hayati dalam Kebun Raya Kelimutu. Pada September 2003, di gua Liang Bua di Flores barat, paleoantropologis menemukan tengkorak spesies hominid yang sebelumnya tak diketahui. Temuan ini dinamakan "manusia Flores" (Homo floresiensis, dijuluki hobbit). Penemuan ini dimuat dalam majalah Nature edisi 28 Oktober 2004. Status temuan ini sekarang masih diperdebatkan, apakah termasuk Homo erectus atau Homo sapiens.
Pulau Flores, terletak di antara garis lintang selatan 8°4' dan 8° 58', dan di antara garis bujur timur 119° 48' dan 123° 1'30', terbentang sepanjang 360 km, di sebelah Barat laut Australia. Flores merupakan salah satu pulau di wilayah Indonesia timur, termasuk dalam jajaran kepulauan Nusa Tenggara yang diantaranya termasuk pulau Timor dan Sumba.
Dalam sudut pandang geodinamika, Flores yang di bagian utara dibatasi oleh cekungan Flores dan di bagian selatan dibatasi oleh cekungan Sawu, merupakan busur magmatik dengan 13 gunung berapi yang masih aktif. Disamping itu, Flores merupakan wilayah dengan aktivitas kegempaan cukup tinggi (gempa yang terjadi pada 12 Desember 1992 dengan kekuatan 7,5 skala Richter).

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Flores
http://edytem.univ-savoie.fr/archives/lgham/hendaryono-r-ind.html