Senin, 06 September 2010

Jean Paul Sartre [BICARA CINTA]

Sartre (sumber: Google)
1. Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni tahun 1905. ayahnya adalah seorang perwira angkatan laut Perancis dan ibunya Anne-Marie Schweitzer, anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sadtra Jerman di daerah Alsace. Ia kehilangan ayahnya ketika berumur dua tahun. Karena meninggalnya ayahnya ini maka ibunya ibunya bersama dengan saudara-saudara Sartre pulang ke rumah orangtuanya, Charles Schweitzer di Meudon. Sesudah empat tahun mereka pindah ke Paris.
Sartre dibesarkan oleh kakeknya Charles Schweiter, yang berpengaruh bagi perkembangan bakat mengarangnya. Kakeknya ini adalah seorang yang beragama Kristen Protestan. Akan tetapi ia menyetujui anak –anaknya dibesarkan oleh istrinya yang beragama Kristen Katolik. Sartre sebagaimana kakeknya, menertawakan segala sesuatu yang bersifat religius. Ia sendiri tidak mengakui adanya Allah sejak berumur dua belas tahun. Dunianya adalah perpustakaan kakeknya. Ia kemudian diterima di sekolah Lycee Louisle-Grand setelah ibunya menikah lagi dan pindah ke La Rochelle.
Pada tahun 1924 ia sempat diterima di Ecole normale superieure yang dikemal sebagai salah satu perguruan tinggi yang paling terkenal dan paling selektif di Perancis. Tahun 1929 ia meraih Agregation de philosophie sebagai nomor satu. Sekitar tahun yang sama ia berkenalan dengan Simone de Beauvoir yang pada waktu itu menjadi mahasiswi filsafat di Universitas Sorbonne. Pertemuan itu menjadi ctitik tolak persahabatan akrab sepanjang hidup mereka.
Sejak tahun 1931 Sartre mengajar sebagai guru filsafat di Le Havre, Loan dan Paris. Dalam periode yang sama, Sartre memulai karyanya sebagai sastrawan. Ia juga pernah menjalani wajib militer dari tahun 1929 – 1931.
Karya filsafatnya yang besar terbit pada waktu perang dunia kedua dengan judul L’etre et le neant. Pada tahun 1960 karya filosofis besarnya diterbitkan, dimasukan sebagai jilid pertama dari sebuah karya yang lebih luas. Tahun 1964 ia dipilih sebagai pemenang nobel kesusastraan. Ia meniggal pada usia lima puluh tahun tepatnya pada tanggal 15 April 1980.
Cinta merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Tanpa cinta hidup terasa kering dan hampa. Cinta melahirkan banyak kehidupan dan kreativitas. Tulisan singkat ini mau melihat bagaimana pandangan Jean Paul Sartre mengenai cinta. Jika dikatakan dalam bentuk pertanyaan maka pertanyaan yang muncul adalah apakah eksistensi cinta itu menurut Sartre?

2. Eksistensi Cinta Menurut Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre memandang cinta sebagai sebuah konflik. Konflik yang dimaksudkan adalah bahwa ketika saya mencintai seseorang , maka saya berhadapan langsung dengan kemerdekaan orang yang saya cintai itu. Dalam mencintai ini, orang lain yang saya cintai itu dalam kemerdekaannya memberikan kepada saya suatu “being” yang berasal dari saya sendiri. Dengan cara inilah saya bereksistensi berkat kemerdekaan orang lain.
Menurut Sartre, cinta tidaklah cukup dengan suatu perjanjian dari pihak lain. Cinta merupakan ikatan berdasarkan pilihan bebas yang merupakan kesetiaan pada diri sendiri. Inilah yang dikatakan sebagai sebuah situasi paradoksal. Orang yang mau mencintai ingin mencintai dengan sebuah kemerdekaan, tetapi tidak ingin agar kemerdekaan itu ada. Maksudnya, ketika seseorang mencintai orang lain, maka ia mau mencintai pasangannya itu dengan kemerdekaan penuh, sementara dia tidak menghendaki agar orang yang dicintai itu mempunyai kemerdekaan.
Meskipun demikian, subjek yang mencintai ini tidak memandang orang lain ini hanya sebagai alat saja. Dia mau menjadi seluruhnya bagi yang dicintainya. Ia juga bersedia menjadi objjek bagi yang lain sedemikian rupa sehingga orang yang dia cintai itu bersedia menghilangkan dirinya dalam dia sebagai hal yang mendasari eksistensinya. Inilah situasi paradoksalnya. Mencintai tetapi tidak menghendaki adanya kebebasan dari orang yang dicintai. Pihak yang mencintai tidak mau berpengaruh terhadap kemerdekaan orang yang dicintai. Dengan kata lain masing- masing pihak saling mempertahankan kemerdekaannya.
Dalam cinta, subjek yang mencinta berusaha menjadikan pihak yang dicintai sebagai objek atau en-soi pemenuh hasrat cintanya. Sebaliknya pihak yang dicintai pun dengan sadar menjadikan orang lain sebagai objek atau en-soi pemenuh kebutuhanya untuk dicintai. Dapat dikatakan bahwa tidak ada subjek dalam cinta ala Sartre ini. Masing-masing pihal adalah objek. Oleh sebab itu menurut Sartre, dalam cinta tak perna akan terjadi cinta sejati atau cinta tanpa pamrih sebab masing-masing pihak berusaha untuk saling mengobjekkan pribadi yang lain.

3. Tinjauan Kritis
Sartre menawarkan kepada kita sebuah media yang baik untuk menemukan eksistensi kita dalam diri orang lain. Media itu adalah cinta. Jalan ini bagus dan mudah. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita dapat menemukan eksistensi kita dalam diri orang yang kita cintai kalau kita tidak menncintai dengan tulus, mencintai dengan pamrih dan hanya menjadikan orang yang kita cintai sebagai objek.
Keberatan saya adalah sebagai berikut. Pandangan Sartre ini bagi saya tidak dapat diterima. Katakana saja cinta antara dua orang yang mempunyai watak dan perilaku yang berbeda. Perbedaan watak dan perilaku dalam mencintai adalah wajar dan merupakan sebuah takdir yang tak terelahkan. Semua orang pasti mempunyai watak dan perilaku yang berbeda-beda. Kongkritnya dua orang yang mempunyai pola pikir yang berbeda berniat untuk membentuk sebuah rumah tangga. Perbedaan ini jelas membuat keduanya dapat saja selalu bertentangan dan menimbulkan masalah.
Perbedaan ini justru baik. Mengapa? Karena dengan perbedaan ini kedua orang ini dapat menemukan eksistensinya masing-masing dalam pribadi yang dicintainya.
Seorang suami yang tidak sabar dan sering marah ketika berhadapan dengan istrinya yang sangat sabar dan lembut, suatu saat akan belajar pula dari istrinya itu untuk menjadi pribadi yang sabar dan lembut. Apa kaitan dengan pemikiran dari Sartre soal eksistensi yang timbul dari relasi mencintai dengan orang lain tadi?
Ketika ada seseorang yang berubah dalam sebuah relasi cinta, maka hal itu bukan pertama –tama disebabkan oleh desakan dari manampun atau karena hukum lain. Hal ini terjadi pertama-tama karena pribadi itu telah menemukan eksistennsinya dalam diri orang lain yang ian sendiri tidal menyadarinya. Dengan kata lain ketika aku sedang menjalin sebuah relasi cinta dengan pasangan yang mempunyai sikap dan watak lebih baik dari saya, maka hal ini merupakan sebuah media untuk kembali menemukan sikap saya yang baik yang ada pada orang yang saya cintai.
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana mungkin aku menemukan eksistensiku dalam pribadi yang aku cintai ketika aku tidak mencintai dengan tulus? Mungkin Sartre mempunyai alasan yang lain untuk ini. Akan tetapi cinta itu akam mempunyai kekuatan yang efektif jika berada dalam ketulusan dan kejujuran serta tanpa pamrih. Bagaimana aku dapat menemukan eksistensiku dalam pribadi yang aku cintai jika orang yang saya cintai hanya saya pandang sebagai objek semata.
Komunikasi cinta yang baik akan ada jika dua orang yang saling mencitai berdiri sebagai subjek. Pada posisi inilah orang dapat saling memberikan apa yang menjadi kelebihannya. Di saat yang sama kedua subjek itu akan saling menerima dan mengakui kekurangannya masing-masing. Pada taraf ini eksistensi dari dua subjek yang saling mencintai akan nampak. Orang yang mencintai akan menemukan dalam diri orang yang dicintai apa yang menjadi kekurangannya, dan disaat yang sama juga memberikan apa yang menjadi kelebihan atau keunggulannya. Hal ini hanya akan terjadi dalam relasi antara subjek dan subjek. Relasi antara subjek dan objek hanya akan memandang rendah yang lain dan memenjarakan kemerdekaan dari orang yang diciintai.

4. Relevansi
Cinta merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Karena cinta, ada kehidupan. Kadang orang menyamakan cinta itu dengan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu cinta dianggap begitu penting. Dalam hal apa? Dalam segala hal, menyangkut kehidupan. Tanpa cinta kehidupan terasa hambar, pergaulan dan relasi menjadi kering.
Pembicaraan tentang cinta tidak pernah selesai. Hal ini dikarenakan oleh urgensitasnya. Bukan karena itu saja. Pembicaraannya juga tidak pernah usai karena ketimpangan-ketimpangan yang bergandengan dengan cinta itu. Cinta lalu tidak menjadi murni lagi sebagai media yang baik untuk mengenal sesama.
Cinta yang murni dan baik adalah cinta yang memberikan ruang untuk saling mengenal satu dengan yang lain, juga disaat yang sama menerima kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pihak. Dengan kata lain tidak akan ada pengungkungan kemerdekaan dari siapapun. Setiap pihak yang menjalankan cinta dengan demikian mempunyai kebebasan penuh, tak terganggu.
Dalam kehidupan dewasa ini cinta merupakan persoalan yang rumit sekaligus sederhana. Rumit karena cinta sejati tak pernah ada. Cinta hanya merupakan permainan. Banyak pasangan yang tidak setia dan hanya menhjadikan orang lain sebagai objek kepuasan semata. Cinta lalu tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk menjadi media dimana orang saling mengenal dan saling melengkapi. Cinta menjadi hampa dan ditelah oleh kepalsuan. Dikatakan sederhana karena cinta hanya disepelehkan dengan persoalan romantisme dan kenikmatan semata. Cinta bisa dibicarakan oleh siapapun tanpa harus ada kewajiban untuk menjalankannya dengan setia. Cinta itu mudah diperoleh, sekaligus mudah untuk melupakannya.
Lalu bagaimanakah cinta itu seharusnya ada? Cinta yang baik adalah cinta yang tanpa pamrih dan saling melengkapi. Juga mau menerima kekurangan dan kelebihan tanpa menuntut. Itulah hakekatnya. Cinta merupakan media yang pas untuk saling bercermin, saling memandang satu sama lain, manakala ada sesuatu yang kurang atau lebih. Dengan kata lain mencintai sesame dengan tulus berarti mempunyai kesempatan untuk menemukan dalam dirinya apa yang balum ada dalam diri kita.
Jean Paul Sartre menawarkan sebuah situasi cinta yang paradoksal. Disaat mencintai, saya sebagai subjek yang mencintai tidak memandang orang yang saya cintai sebagai subjek pula, tetapi sebagai objek saja. Dengan itu tentu saja kemerdekaan dari orang yang saya cintai menjadi hilang dan lenyap.
Cinta ala Sartre ini memang controversial. Ia memberikan kepada kita sesuatu yang baik yaitu bahwa kita harus mempunyai rasa dan kemampuan mencintai. Namun disaat yang sama juga ia menawarkan pembatasan kebebasan dari orang yang kita cintai. Hal ini memang tidak dapat dipandang baik. Namun ada satu hal yang paling tidak telah Sartre ajarkan kepada kita: kita dapat menemukan eksistensi kita dalam diri orang lain dengan mencintainya. Oleh karena itu, marilah mencintai dengan sungguh!

DAFTAR PUSTAKA

Bertens K. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia, 1985
Brouwer M.A.W. Sejarah Filsafat Barat Moderen dan Sejaman. Bandung: Alumni,
1980
Reong Raja, Gabriel. Manusia Dan Kebebasannya. Malang: STFT Widya Sasana, 1990

1 komentar: