[Non Scholae Sed Vitae Discimus]
Kemandirian dalam belajar, adalah sebuah upaya eksplorasi diri menuju kematangan akademis.
Karena Kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup.
[Menyambut HUT Seminari Yang Ke-81 pada 15 September 2010]
Enam tahun saya menjalin cinta. Dengan belajar dan menjadi bagian yang tak terpisahkan, perlahan tapi pasti perasaan cinta terhadapnya semakin menjalar hingga ke nurani yang paling dalam. Bersama teman-teman, perasaan cinta itu terus terpatri [menurut pengakuan teman-teman]. Kami datang dengan segala kepolosan pikiran dan siap diisi dengan segala bentuk pengajaran yang akan kami hadapi. Kami pasrah, berserah semuanya kepada Tuhan. Karena memang kami datang untuk Dia, untuk Tuhan kami berkumpul dan menjadi satu dalam namaNya. Di tempat ini, segala rasa dan asa menjadi satu. Menjadi kekasih jiwa. Menjadikannya tak tergantikan. Kami siap ditempa menjadi imam, menjadi pastor ataupun pater, atau kalau tidak kesampaian cukup menjadi seminaris saja. Tidak perlu muluk cita-cita itu karena kami sadar menjadi imam tidak mudah. Perlu menaiki beragam anak tangga dengan masing-masing memberikan bobot kualitas yang tentu saja sangat tinggi. Yang tidak memenuhi criteria akan dengan sendirinya tercerabut dari akar pangkuan almamater. Almamater memberikan segala kemudahan bagi kami, tapi tidak dengan nilai kedisiplinan. Hal ini merupakan satu hal yang tidak ada toleransinya. Kedisiplinan menjadi motor sekaligus tameng bagi kami yang hendak memiliki kemajuan dalam visi dan cara pandang terhadap hidup.
Seminari Mataloko, demikian nama tempat yang telah membentuk kami. Memberikan segala yang kami punyai saat ini, hingga kini dan tentu saja bekal itu untuk masa depan kami. Dalam keraguan saya akan ketepatan ingatan, saya mencoba mengingat setiap detik yang pernah kami lalui. Ketika itu, waktu menunjukkan pukul 4.45 WITA terdengar lonceng yang sangat sangar membangunkan kami. Yang belum terbiasa akan sangat tersiksa. Semuanya seperti neraka di tempat dingin. Kabut yang tebal dan dinginnya air membuat kami semua cukup tertegun untuk melangkahkan kaki menuju ke kamar mandi. Antara mandi dan hanya cuci muka, pasti semuanya memilih cuci muka. Maklum, bagi yang tidak terbiasa akan menemukan penderaan yang bertubi-tubi ketika mencoba menyiram tubuh dengan air yang sedingin es itu. Selanjutnya derap langkah kaki-kaki kecil seminaris berarak menuju kapela. Berdoa pagi selama 15 menit denga acuan buku kondang ‘Tuhanlah Gembalaku dan Bapa Kami’ kami bersujud penuh khidmat di depan altar Tuhan [Ada juga yang tidak, mungkin masih ngantuk, kedinginan, dsb.]. Selanjutnya misa pagi dan mengerjakan meditasi tertulis. Tentang misa pagi, waktu normalnya sekitar 30 menit. Namun juga tergantung dari siapa pemimpin ibadat tersebut. Kadang misa pagi bisa dalam waktu yang sangat singkat, bahkan bisa-bisa saking lamanya sampai semuanya bosan. Ini kenyataan, bahwa waktu mempengaruhi semuanya. Ketika kuliah, saya baru menyadari arti pentingnya meditasi tertulis. Selain sebagai refleksi diri, juga melatih daya nalar dan kekritisan. Dimulai dengan menyimak Kitab Suci, hingga terbangunlah pola daya nalar terhadap apapun yang kita lihat dan temukan. Walaupun kebiasaan malas mengerjakan meditasi di kelas 3 SMA sangat tinggi, tetapi tidak jadi masalah walaupun meditasi dikumpulkan pada jam 2 siang. Yang penting belum diperiksa oleh bapak asrama. Kebiasaan ini kalau boleh jujur, dilakukan oleh hampir sebagian besar kelas 3 SMA. Mereka yang telah berani menyebut dirinya dengan sebutan confrater.
Makan. Kata ini hanya terdengar merdu ketika hari selasa, jumat dan minggu karena ada Lauk. Itupun hanya siang hari. Hari minggu bisa malam apabila siangnya semuanya menikmati minggu pesiar setiap minggu ke 1 dan 3. Menu andalan restoran ini hanya nasi dan sayur. Tidak ada menu lain. Apalagi mengharapkan pilihan lain yang kelihatan higienis dan kesan lezat. Semuanya seperti mimpi. Kami, para seminaris selama 6 tahun menekuni sarapan nasi dan sayur. Itu saja, tidak ada komentar, tidak ada keluhan yang berarti. Semuanya menyimpannya dan membungkus rapi setiap protes terkait makanan dalam hati masing-masing. Kalaupun ada ikannya [lauk] itu juga tidak merdeka menikmatinya. Semuanya diproses dengan membagi rata untuk kira-kira 30 meja makan dengan jumlah anggota bervariasi antara 6 hingga 7 orang setiap meja makannya. Dan alhasil jika lauk yang dibagi ikan teri, mungkin seorang mendapatkan 7 ekor ikan teri [bayangkan betapa kecilnya ikan itu], jika telur jangan mengharapkan satu butir utuh. Jika dapat, bersyukurlah karena paling banyak setengah. Itupun dengan teknik pembagian yang membutuhkan kecermatan tingkat tinggi. Maklum, jika salah bagi bisa-bisa telur itu menjadi sumber malapetaka. Tapi selama di sana, pertumpahan darah karena makan jarang terjadi. Biasanya yang menjadi pembagi lauk adalah orang yang sudah telaten membagi untuk ratusan orang dalam sebuah kamar makan. Saya secara pribadi jarang menjadi pembagi lauk, selain susah menakar, lebih baik menjadi pembagi nasi atau air dalam tugas dekers yang sudah ditetapkan oleh ketua kamar makan.
Difoto dari Kemah Tabor
Suasana selanjutnya yang sangat penting adalah berada dalam kelas. Inilah esensi sesungguhnya dari proses pembelajaran yang ada di seminari. Matapelajaran dasar seperti Bahasa Latin, Kitab Suci, dan mata pelajaran lainnya yang khusus selalu menjadi dasar bagi kami, para calon pastor. Disamping mata pelajaran nasional seperti yang didapatkan juga di sekolah-sekolah lain di seantero Indonesia. Proses pendidikan disini selalu menerapkan standar tinggi. Sejak kelas I SMP standar kenaikan kelas harus 6,5 dengan catatan jangan ada nilai 5 untuk mata pelajaran pilihan atau unggulan. Tidak ada namanya toleransi bagi yang tidak memenuhi standar itu. Seingat saya, angkatan kami berjumlah 116 orang ketika masuk SMP di tahun 1999 namun akhirnya hanya 36 ketika menamatkan di SMA. Jumlah itu bertambah menjadi sekitar 55 orang ketika harus bergabung dengan teman-teman dari kelas persiapan. Nilai rata-rata itu akhirnya menjadi 7,0 agar bisa tetap menjadi seminaris dan akhirnya tamat. Beruntung, bersama beberapa kawan kami bisa meloloskan diri dari aturan dan standar tinggi pendidikan di seminari. Istilah cedok berlaku untuk teman-teman yang dikeluarkan karena tidak memenuhi criteria tadi. Artinya, sesegera mungkin meninggalkan almamater dan silahkan mencari sekolah yang baru. Tempat di Seminari telah tertutup rapat. Kegiatan ekstrakurikuler favorit para seminaris adalah sepakbola, musik, basket, voli, tenis meja, teater, paduan suara,seni lukis dan berbagai macam kegiatan penggalian minat dan bakat. Semuanya menunjukkan hasil yang positif dan benar-benar pengembangan diri menjadi salah satu bukti bahwa talenta jangan dikuburkan tetapi digunakan agar bermanfaat. Pendidikan bahasa Inggris menjadi salah satu favorit kami, karena dibimbing oleh seorang guru yang bagi saya terhebat di Indonesia dan selevel dengan penutur asli bahasa inggris. Father Nani, demikian kami selalu memanggil beliau. Ditangannya kami tumbuh menjadi anak muda yang harus kreatif dalam belajar. Dalam asuhannya, bahasa inggris menjadi demikian mudahnya, sangat terjangkau untuk kami yang perlu berkenalan jauh dengan bahasanya orang inggris tersebut. Ada juga Romo Alex [Maaf Romo,,tapi sapaan untuk Romo dari kami Rolex], nilai bahasa Indonesia kami tidak lebih dari 6. Bahkan untuk yang paling cerdas sekalipun. Rahasianya hanya Romo Alex yang tahu, saya juga tidak sempat menanyakannya dahulu. Romo Beni Lalo, perfek kami yang sangat kami segani. Dalam diamnya kami belajar untuk selalu taat dan disiplin. Beliau juga punya tangan yang maut, beberapa teman pernah merasakannya. Romo Nani selalu ‘menghajar’ kami dengan selang. Memang sakit, tapi kami selalu menciptakan suasana yang akhirnya selang mendarat di kaki atau badan kami. Terkadang kami cukup naïf untuk menerima pukulan itu, tapi itulah anak asrama. Jika tidak ribut saat belajar, pasti karena terlambat. Itu merupakan kesalahan-kesalahan primer seminaris, dan hukumannya apabila bukan refleksi 4 halaman, pasti berlutut dan siap-siaplah menerima selang maut. Ada pula Romo Domi Balo, beliau merupakan imam tua yang mengasuh kami dengan pelajaran bahasa Latin. Pelajaran bahasa Latin tak ubahnya dengan tidak ada pelajaran. Beliau mengajar di depan, kami membaca novel di tempat duduk kami masing-masing. Antisipasinya adalah kami selalu siap menterjemahkan bahasa latin sesuai nomor urut kami nanti. Selebihnya kami tidak pernah mendengarnya, bahkan ada yang melanjutkan permainan kartu dan catur dalam kelas. Romo Domi bermata rabun, dan terlalu uzur dalam menghadapi kenakalan anak asrama yang [tidak tahu diri]. Roki, demikian panggilan diam-diam kami kepada Romo Kristo Betu. Penampilannya yang selalu ‘isi dalam’ mengharuskan setiap seminaris harus tampil rapi dan necis. Beliau terkenal dengan terror mautnya kepada kami. Sampai ketika akan menempuh UAN SMA, kami sekelas pernah merasakan saat-saat akhir terror maut Roki kepada kami. Namun kami sangat menyayangi Romo Kristo, dibalik pembawaannya yang kalem, kami seringkali tertawa dan terhibur dengan candanya yang bagi kami sangat lucu. Namun ditanggapi dingin oleh beliau. Kami merindukan suasana humor sebagai pelarian terhadap jam makan yang selalu menyiksa. Bagi kami, Pater Engels adalah segalanya. Di tangan beliau, serumit apapun sakit kami pasti sembuh. Tangannya sangat manjur dan selalu melayani kami di Poliklinik seminari. Pater Engels sudah tua, mungkin saat ini usianya sudah 90 tahun, tapi dibalik kerentaannya terlihat semangat pengabdian tanpa batas kepada kami para seminaris. Kami merindukan sentuhan pater ketika sakit gigi, pilek, demam, malaria, flu, penyakit kulit [jamur] dan sebagainya. Akhirnya, Kepala sekolah kami terkesan sangat elegan. Pembawaan yang tenang dan jarang buka suara membuat kami ‘agak takut’ dengan Romo Idrus. Romo Idrus demikian nama beliau merupakan kepala sekolah kami. Beliau jarang marah, apalagi memukul kami. Hal ini berbeda ketika menyaksikan romo bermain volli, kami jatuh cinta terhadap smash-smash keras dan mematikannya. Hal itu menjadi bahan pembicaraan kami ketika bercerita tentang kehebatan Romo ketika bermain Volli.
Setelah UAN 2005
Saat indah lainnya adalah ketika berada di lapangan sepakbola, basket dan voli. Ataupun di lapangan kecil di samping bak lompat jauh untuk sebuah permainan bola kecil-kecilan yang kami namai liga. Liga biasanya dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki tugas kerja pos. Ada beberapa teman yang saking senangnya liga dan menunjukkan ‘kewajaannya’ dengan tetap menendang bola sampai harus masuk ke semak-semak belukar yang banyak durinya. Tingkat kebanggaannya sangat tinggi dan mereka senang dengan predikat ‘waja’ [dalam bahasa Bajawa dan kami artikan sebagai orang yang kuat]. Bersama beberapa teman kami senang bermain drama, membaca puisi, dan sangat mendalami teater. Teater KATA merupakan bentukan kami dengan dipandu mentor kami yang bertangan dingin yaitu para frater TOP dan tentu saja Guru bahasa Indonesia kami, Romo Alex. Kelas 3 SMA merupakan tingkatan tertinggi di seminari. Berada di posisi ini terasa sangat agung sekali. Kami seringkali angkuh dan sombong, dengan catatan maklum sebentar lagi frater. Kami juga santa-santai saja apabila melakukan tindakan indisipliner, toh tidak ada yang berani melarang kami. Kecuali para Pembina.
Mantap eja... Itulah kisah kitsa bersama...
BalasHapusHasil refleksi yang bagus...
Ditunggu sambungannya...
teruslah berkarya...
Trims kawan,,,,,Sama2 berkarya sebagai bentuk utang jiwa untuk almamater yang telah membesarkan kita semua.... Saya juga tunggu tulisanmu...
BalasHapusAsiiikkkk....kae makin ok la
BalasHapus