Kamis, 09 September 2010

Kisah Cintaku…[2]


[Menyambut HUT Seminari Mataloko ke-81 pada 15 September 2010]

Kelas 3 SMA Tahun 2005
Saat itu waktu menunjukkan tepat pukul 2.45 WITA [saya lupa harinya]. Namun kegaduhan sudah terjadi di sekitaran kamar barang kelas 3 SMA. Seharusnya jam tidur siang setelah makan siang, ternyata banyak dari antara rekan kelas 3 yang tidak menggunakan kesempatan itu. Hanya sedikit yang menggunakan waktu tidur selama satu jam dengan efektif mungkin. Ada yang sudah tidak sabaran menunggu lonceng dibunyikan oleh petugas waktu. Lonceng merupakan teman setia kami. Setia memberitahukan kapan saatnya tiba dan hal yang harus kami lakukan. Semuanya tanpa perlu melihat kembali jadwal, kami sudah sangat hafal kegiatan keseharian kami. Sejak bangun pagi hingga saatnya kembali ke peraduan kami nanti malam. Semuanya sangat seragam dan terkesan tanpa variasi. Variasi yang lumayan menyenangkan kami adalah siang yang sangat kami nanti-nantikan. Teman-teman kelas 3 menempati area bagian barat dari kamar tidur asrama SMA. Siang itu, ada saja kegiatan lain yang dilakukan. Mulai dengan berkeliling kamar tidur untuk meminjam sepatu bola, ada yang membersihkan sepatu bola, mencari baju bola terbaik yang dia punyai, meminjam kepunyaan teman dan adik kelas. Semuanya dilakukan saat jam tidur siang dan dilakukan apabila tidak ada Pembina yang mengontrol. Memang semuanya terkesan pengecut, tapi itulah kebiasaan seminaris. Tanpa ada kontrol Pembina kami Berjaya. Kami akan sangat taat kepada aturan ketika ada kontrol langsung, namun akan sangat lepas kendali apabila perfek atau pembantu perfek melupakan kewabijan kontrol mereka. Walau hanya sebentar.
Hari ini, jadwal yang dibagi menunjukkan kalau kelas 3 SMA mendapatkan jatah berolahraga. Saatnya bermain sepakbola. Anak seminari terkenal dengan istilah-istilahnya yang kadang aneh dan terkesan sembarangan bahkan ngawur. Tapi ungkapan itulah yang selalu kami gunakan. Kami senang menggunakannya dan sangat bahagia untuk itu. Misalnya tu’a dan waja [adopsi dari bahasa daerah setempat] ini khusus bagi teman-teman yang selalu kuda kayu. Nah istilah ini selalu merujuk kepada teman yang tidak pernah merasa sakit sekalipun terkena benturan keras saat bermain bola. Entah sakit benaran atau hanya menutupi saya sendiripun tidak mengetahuinya, hanya saja minya gosok selalu menemani kala selesai bermain bola. Kadang tu’a tidak mujarab di lapangan bola. Ada lagi penggunaan istilah abang yang merujuk kepada orang yang paling. Pokoknya paling apa saja. Abang ngama [tukang cerita yang hampir semuanya hiperbolis], Abang Pole [Berlaku didalam lapangan bola bagi mereka yang selalu menggocek bola tanpa henti], Abang bolos [Sudah pasti tukang bolos], Abang Ozon [Yang selalu kentut], Abang bon [selalu berpindah dari meja ke meja untuk meminta lauk di meja teman lain], Abang nampang [yang suka jual tampang] dan masih banyak abang-abang lainnya. Dilapangan bola, tentu saja berlaku dua istilah yaitu waja [tu’a] dan Abang pole. Itu istilah turun temurun yang apabila diruntut kembali asal muasalnya akan menemukan siapakah dalang dibalik semua istilah itu. Kami adalah native speaker untuk istilah-istilah itu. Dilapangan bola sudah terbagi 2 kelompok besar. Kelompok SVD dan Projo. Ordo-ordo lain semisal SMM, Karmel, OFM, dsb mengikuti kedua kelompok besar tersebut. Semuanya dibagi berdasarkan pilihan ordo atau biara yang akan dimasuki setelah tamat dari SMA Seminari. Saya masuk di kelompok Projo, karena saya termasuk yang sangat mencintai menjadi imam diosesan. Kami bermain dengan tensi tinggi, dengan segala upaya agar menang. Hal yang lumrah ketika emosi yang tak terkontrol juga turut masuk didalam permainan itu. Harus diakui bahwa Kelompok Projo Cs selalu menang dilapangan. Kami bermain dengan segala daya upaya yang kami bisa, semuanya agar bisa menjadi yang terbaik. Pelajaran moral bagi kami adalah kompetisi secara fair demi sebuah tujuan yang mulia sangat diizinkan dalam hidup ini. Sehingga membentuk kami untuk menyandang predikat yang selalu kami sebut. Kami berusaha dalam hal positif menjadi abang-abang bagi diri kami dan sesama kami. Menjadi yang paling, menjadi yang bisa, menjadi yang mampu dengan kelebihan yang kami punyai. Kami menanam kebaikan dan menerima segalanya sebagai teman hidup. Teman kami sepanjang masa. Itu pelajaran dari permainan bola yang bukan 11 vs 11, tapi banyak vs banyak. Saya lupa berapa jumlah pastinya. Saya sangat bangga beberapa teman seangkatan sudah berhasil dan sedang meretas karir kesuksesan. Tentu saja dalam hal panggilan imamat suci maupun panggilan untuk berkarya sebagai yang bukan imam. Kami saling mencintai dalam kebisuan kami dan saling menyayangi dalam diam kami. Kami saling mendukung sebagai satu bagian yang lahir dari rahim Seminari Mataloko. Tempat kebanggaan kami hingga kapanpun dan dimanapun.
Setelah bermandikan keringat dan pelu yang bercucuran, lonceng tanda selesai permainan berbunyi keras. Tapi kadang kami cuek untuk melanjutkan permainan. Toh waktu mandi masih panjang. Kalau terlambat pun, bisa mandi setelah istirahat belajar jam 5 sore nantinya. Semuanya bisa disiasati. Perlu perhitungan yang matang dan cermat, karena jika tidak maka risiko ketahuan Pembina bisa saja terjadi. Akibatnya fatal, jadi jangan mencoba apabila belum terbiasa. Aturannya adalah jam mandi maka kita mandi, jam belajar kita belajar, jam istirahat kita istirahat. Istirahat bukan mandi dan mandi juga tentu saja bukan istirahat. Logis. Tapi semuanya bisa berubah bagi kepala kami. Namun dengan catatan tindakan kami tidak diketahui oleh Pembina. Kami menyudahi pertandingan bola dengan kebahagiaan apabila menang, namun ada yang dongkol jika kalah. Keributan kecil seringkali terjadi, sekedar melepas ketidakpuasan di lapangan bola tadi. Letupan kecil itu tidak terlalu berbahaya karena kami sadar bahwa berkelahi juga bukan merupakan perbuatan terpuji. Hukumannya bisa berlutut sepanjang hari atau akan berakrab ria dengan kotoran hewan yang harus diangkat sebagai pupuk dengan ditaburkan di taman-taman bunga. Itu bisa berlangsung selama seminggu penuh. Tanpa henti. Pada jam tidur siang lagi. Ini merupakan hukuman yang mematikan, perlahan tapi pasti dan tentunya kadar siksaannya lebih dari sekedar sakit.
Suasana Belajar Sore
Setelah mandi, kelaslah tujuan kami. Kami belajar, membaca, menulis, menyalin, pokoknya apapun yang penting namanya belajar mandiri. Kegaduhan merupakan sebuah tindakan haram selama jam pelajaran. Kami belajar dengan cara kami masing-masing, dengan daya tangkap kami sendiri-sendiri. Kami belajar mandiri, belajar menjadi diri sendiri, belajar berguna bagi diri dan sesama. Itulah esensi belajar mandiri. Belajar mandiri bagi kami ada berbagai macam variannya. Menulis formasi sepakbola klub-klub elit Eropa, membaca novel, menulis kata ilmiah, dsbnya. Kami menjadi demikian tidak terkendali apabila tidak ada Pembina. Diskusi yang terjadi hanyalah hal-hal remeh-temeh diluaran disiplin ilmu yang harus kami pelajari. Bagi kami itulah esensi belajar tanpa pengekangan. Biarkan kami yang belajar, waktu hanyalah teman yang membantu kami menemukan jati diri. Kira-kira demikian kami memaknai esensi waktu belajar. Sangat bertolak belakang dengan keinginan para Pembina yang menerapkan standarisasi pendidikan seminari yang berkualitas tinggi dan mumpuni.
Jam belajar mandiri diakhiri dengan waktu istirahat. Yang selalu digunakan untuk ke kamar mandi, Toilet, dapur, kamar makan, koperasi, tempat jemuran, sambil menunggu peluit panjang untuk masuk kembali ke kelas. Jam belajar ke-2 adalah belajar bersama. Bisa diskusi atau apapun, tapi diizinkan untuk belajar bersama. Konsekuensinya adalah kegaduhan yang luar biasa. Semuanya dilakukan atas nama diskusi kelompok. Kejahatan yang seringkali muncul adalah bermain kartu, catur, domino, monopoli, dan banyak macam permainan ciptaan kami. Ketika di SMP kami menciptakan sepakbola kaus kaki dan sepakbola kertas. Ada-ada saja, tapi itulah hiburan bagi kami. Para seminaris kala itu.


[bersambung]

2 komentar:

  1. Pae pu kilas balik memang berkelas...seandainya
    Songka mereka baca bisa jatuh air mata

    BalasHapus
  2. Itu kan kisahnya kita,,,termasuk didalamnya kisah paE dgn Depa yang tangkap Yas pas putar susu lewat belakang kelas 3 IPS...heheh....

    BalasHapus